KUNINGAN, KASATU.ID - Ketika krisis gagal bayar di Kabupaten Kuningan terus berlangsung tanpa ujung, kritik tajam kembali datang dari aktivis masyarakat, Santos Johar. Ia menyebut bahwa persoalan gagal bayar bukan lagi soal anggaran semata, tetapi kegagalan menyeluruh dalam berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan. Bagi Santos, ini bukan sekadar soal uang yang tidak ada, tetapi tentang akal sehat yang hilang dan keberanian yang menguap di kalangan pemegang kekuasaan.
“Gagal bayar yang terus-menerus itu bukan hanya soal minusnya kas, tapi minusnya keberanian berpikir. Minusnya kepemimpinan. Ini bukan hanya gagal bayar, ini gagal berpikir,” tegasnya, Sabtu (19/7).
Lebih lanjut, Santos mengarahkan kritik kerasnya kepada lembaga legislatif. Menurutnya, DPRD Kuningan sudah kehilangan daya kritis dan keberpihakan pada rakyat. Diamnya para wakil rakyat di tengah persoalan serius ini menunjukkan bahwa mereka sudah kehilangan ruh sebagai representasi publik.
“DPRD sekarang seperti hidup segan mati tak mau. Mereka hadir secara fisik, tapi tidak secara politik. Tidak ada gebrakan, tidak ada tekanan, tidak ada keberanian. Mereka seperti kehilangan nyawa dan makna,” katanya.
Dalam kondisi seperti itu, Santos menyebut wajar jika mulai muncul wacana untuk merebut kembali ruang-ruang demokrasi yang ditelantarkan. Bukan dalam makna kekerasan atau tindakan anarkis, tapi sebagai bentuk koreksi sipil yang sah dan bermartabat. Gedung DPRD, kata dia, dibangun dari uang rakyat dan seharusnya menjadi tempat rakyat menyuarakan aspirasinya, bukan jadi menara sunyi bagi elite yang lupa mandat.
“Rebut gedung bukan berarti melempar batu. Tapi rebut kesadarannya, rebut fungsinya, rebut semangatnya. Gunakan untuk forum rakyat, mimbar terbuka, diskusi anggaran, ruang kontrol publik. Karena kalau mereka tidak menjalankan fungsinya, rakyat harus turun tangan,” ungkap Santos.
Ia menambahkan, jika dibiarkan, krisis gagal bayar bisa menjadi kuburan bagi demokrasi lokal. Ketika tak ada lagi yang berani mengkritik termasuk mahasiswa sebagai agen perubahan yang saat ini hanya diam saja dan lembaga formal hanya menjadi penonton, maka kehancuran tinggal menunggu waktu. Rakyat tidak boleh terus-terusan menjadi korban dari sistem yang pincang. Kegagalan pemerintah dan diamnya DPRD harus dijawab dengan gerakan kolektif yang cerdas, terukur, dan konsisten.
“Kita tidak butuh elite yang pandai pidato tapi lumpuh bertindak. Kita butuh keberanian. Kalau tidak ada, maka rakyat sendiri yang harus jadi aktor perubahan. Kalau suara tak lagi didengar, maka aksi harus bicara,” katanya tegas.
Santos menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa sejarah tidak pernah berubah oleh mereka yang diam. Justru mereka yang berani bersuara di tengah sunyi, yang merawat keberanian di tengah ketakutan, itulah yang menyalakan api perubahan. Dan di Kuningan hari ini, api itu sedang redup. Rakyat harus meniupnya kembali.
.RED