Editorial: Dimana Bumi Dijunjung, Disitu Langit Dipijak?
Pepatah bukan sekadar rangkaian kata, melainkan cermin kebijaksanaan leluhur. Ia lahir dari pengalaman panjang, diturunkan lintas generasi, dan menjadi penuntun hidup bagi masyarakat. Tetapi, sebagaimana kata bisa dipelintir, pepatah pun dapat dibalikkan maknanya.
Kita tentu akrab dengan petuah “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.” Sebuah pesan sederhana namun dalam, agar kita mampu menyesuaikan diri dengan tempat, menghormati aturan, dan menjunjung nilai setempat. Pepatah ini mengajarkan keseimbangan antara berpijak di tanah nyata dan menatap langit yang tinggi.
Namun zaman bergerak, dan pepatah itu kini sering terdengar dengan makna terbalik yakni “dimana bumi dijunjung, disitu langit dipijak.” Bukan lagi pedoman untuk menjaga harmoni, melainkan sindiran tajam atas kenyataan yang kontradiktif. Bumi diagungkan secara simbolis, tetapi langit sebagai lambang cita-cita dan keadilan justru diinjak demi kepentingan sesaat.
Inilah ironi yang kita hadapi hari ini. Pepatah yang seharusnya menjaga keseimbangan justru dipelintir menjadi pembenaran atas ketimpangan. Apa yang semestinya dijunjung malah dipijak, apa yang semestinya dipijak justru dijunjung. Sebuah pembalikan makna yang sekaligus menjadi cermin kegagalan kita merawat kebijaksanaan leluhur.
Pepatah yang Dibalikkan
Pepatah asli mengajarkan kita, “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.” Sebuah pesan luhur agar setiap orang mampu menyesuaikan diri dengan adat, budaya, dan aturan di tempat ia berada. Pepatah itu menekankan pentingnya menghormati tatanan hidup, menjaga harmoni, dan merawat keselarasan antara manusia dengan lingkungannya.
Namun, kenyataan hari ini justru memunculkan tafsir terbalik. Yang terdengar adalah “dimana bumi dijunjung, disitu langit dipijak.” Pembalikan ini bukan sekadar kata-kata, melainkan gambaran dari realitas kontradiktif yang menggerus makna asli pepatah. Sesuatu yang seharusnya dijunjung malah diinjak, sesuatu yang seharusnya dirawat justru direndahkan.
Di banyak ruang publik, bumi memang ditampilkan seolah-olah dijunjung tinggi. Upacara adat digelar, tradisi ditampilkan, bahkan simbol kearifan lokal dimuliakan dalam seremoni. Namun di balik kemegahan itu, langit yang merepresentasikan cita-cita, hukum moral, dan keadilan justru diperlakukan sebagai lantai yang bisa dipijak tanpa rasa hormat.
Ironi inilah yang membuat pepatah leluhur kehilangan rohnya. Ia bukan lagi pedoman hidup yang mendidik masyarakat agar menghormati tempat berpijak, melainkan simbol kosong yang bisa dipelintir sesuai kepentingan penguasa. Bumi hanya dijadikan panggung penghormatan seremonial, sementara langit ditundukkan menjadi alas bagi kepentingan sesaat.
Pepatah yang dibalikkan ini mencerminkan pergeseran nilai. Dari harmoni menuju hipokrisi. Dari penghormatan menuju pengkhianatan. Dan dari kebijaksanaan menuju pembenaran diri.
Bumi yang Dimuliakan Secara Seremonial
Hari ini, bumi sering kali dijunjung setinggi-tingginya dalam bentuk seremoni. Perayaan budaya, ritual adat, hingga simbol-simbol kedaerahan ditampilkan untuk menunjukkan identitas dan kearifan lokal. Semua itu seakan menandakan penghormatan besar kepada bumi, tempat kita berpijak.
Tetapi penghormatan itu sering berhenti di permukaan. Ketika upacara selesai, tanah yang diagungkan justru rusak oleh tambang liar, dicemari oleh limbah, atau dijual murah kepada kepentingan ekonomi jangka pendek. Penghormatan kepada bumi hanya menjadi retorika, sementara tindakan nyata justru melukai rahimnya.
Begitu pula dengan masyarakat yang hidup di atas tanah itu. Mereka dipanggil untuk ikut dalam seremoni menjunjung bumi, tetapi kesejahteraannya tidak dijaga. Petani dibiarkan terlilit utang, nelayan dibiarkan berjuang sendiri, dan rakyat kecil hanya dijadikan penonton dalam panggung penghormatan simbolis.
Di satu sisi, bumi seolah dimuliakan dengan segala simbol budaya. Namun di sisi lain, bumi dihina dengan ketidakadilan struktural. Pepatah yang seharusnya menjadi pedoman hidup justru diputarbalikkan dimana penghormatan hanya ditampilkan di atas panggung, sementara pengkhianatan berlangsung di belakang layar.
Inilah kontradiksi pertama yakni bumi dijunjung, tetapi hanya sebagai sandiwara.
Langit yang Dipijak
Jika bumi dijunjung secara simbolis, maka langit justru dipijak secara nyata. Langit dalam pepatah bukan sekadar ruang di atas kepala, melainkan lambang dari cita-cita, keadilan, hukum moral, dan kebenaran universal. Ia adalah panduan yang seharusnya ditatap dan dihormati.
Namun hari ini, langit seringkali dijadikan alas pijakan kekuasaan. Hukum dipelintir demi kepentingan elit, keadilan diperlakukan sebagai barang dagangan, dan idealisme diinjak demi pragmatisme. Langit tidak lagi dijunjung sebagai pedoman, melainkan ditundukkan sebagai alat pembenaran.
Ketika langit dipijak, maka rakyat kehilangan arah. Cita-cita kolektif bangsa menjadi kabur, sebab yang ditonjolkan hanya kepentingan segelintir orang. Nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi penopang kehidupan bersama justru ditukar dengan transaksi politik dan ekonomi.
Ironinya, mereka yang memijak langit tetap berbicara tentang moral, tentang hukum, dan tentang kebenaran. Tetapi semua itu hanya jargon kosong, karena dalam praktiknya langit telah ditundukkan, bahkan dijadikan lantai untuk pijakan kepentingan sempit.
Di sinilah kontradiksi kedua lahir yakni langit diperlakukan sebagai alas, padahal seharusnya ia menjadi arah.
Kontradiksi Sosial dan Politik
Pepatah yang dibalikkan ini mencerminkan wajah sosial dan politik kita hari ini. Penghormatan kepada tradisi dan adat sering dipamerkan, tetapi pelanggaran terhadap nilai keadilan berlangsung terang-terangan. Kehidupan berbangsa seolah hidup dalam dua dunia yakni dunia seremoni yang indah, dan dunia nyata yang penuh kepalsuan.
Dalam dunia seremoni, bumi dijunjung dengan segala kemegahannya. Pemerintah tampil dengan pakaian adat, bicara tentang budaya, dan menyebut diri sebagai penjaga kearifan lokal. Tetapi dalam dunia nyata, keputusan-keputusan politik sering merugikan rakyat, merusak lingkungan, dan mengkhianati amanah.
Begitu juga dalam dunia hukum. Di permukaan, hukum diagungkan sebagai panglima tertinggi. Tetapi dalam praktik, hukum justru diinjak dan dipelintir demi kepentingan kekuasaan. Pepatah yang semestinya mendidik tentang penghormatan berubah menjadi cermin kontradiksi.
Kontradiksi ini menimbulkan krisis kepercayaan. Rakyat mulai bertanya, apakah benar bumi dijunjung, atau hanya ditampilkan? Apakah benar langit dipijak, atau sengaja dijadikan alas agar penguasa merasa lebih tinggi? Pertanyaan ini tidak dijawab dengan kejujuran, melainkan ditutup dengan propaganda.
Maka lahirlah jurang antara rakyat dan penguasa. Sebuah jurang yang kian lebar, karena pepatah leluhur dipelintir, dipakai, dan disalahgunakan.
Menjaga Keseimbangan yang Hilang
Pada akhirnya, pepatah “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” adalah pelajaran tentang keseimbangan. Bumi sebagai tempat berpijak harus dihormati, dan langit sebagai arah harus dijunjung. Dua hal itu tidak bisa dipisahkan, karena harmoni hanya lahir ketika keduanya ditempatkan pada posisinya yang benar.
Namun ketika pepatah itu dibalik menjadi “dimana bumi dijunjung, disitu langit dipijak,” maka keseimbangan itu runtuh. Kehidupan berubah menjadi kontradiktif dimana penghormatan hanya simbolik, sementara nilai luhur diinjak. Tradisi dimuliakan, tetapi hukum direndahkan. Bumi diagungkan, tetapi langit dilupakan.
Editorial ini bukan sekadar kritik, melainkan pengingat. Bahwa bangsa ini tidak boleh hanya pandai menjunjung bumi dalam upacara, tetapi juga harus berani menjunjung langit dalam praktik. Menghormati tanah berarti menjaga kehidupan, dan menjunjung langit berarti merawat cita-cita.
Jika tidak, pepatah itu akan kehilangan makna aslinya. Ia hanya akan menjadi permainan kata, yang indah diucapkan tetapi hampa dalam kenyataan.
Kita harus kembali pada esensi dimana bumi tetap dipijak dengan hormat, dan langit tetap dijunjung dengan setia. Hanya dengan begitu, harmoni bisa kembali, dan kontradiksi bisa disudahi.
Ditulis oleh: Redaksi