Kasus Pelecehan Siswa Oleh Guru Agama SMA 3 Kuningan, Uha: Kapolres Segera Tahan Pelaku
KUNINGAN, KASATU.ID - Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, melontarkan kritik keras terhadap pernyataan Kepala SMA Negeri 3 Kuningan, Mochammad Chaeri, yang menyebut guru terduga pelaku dugaan tindak asusila baru dinonaktifkan pada 28 Juli 2025, setelah kasus tersebut viral di masyarakat.
“Kalau tidak viral, apakah predator itu akan tetap berkeliaran di lingkungan sekolah? Ini sangat ironis dan memprihatinkan,” tegas Uha, Rabu (30/7/2025).
Berdasarkan informasi yang diterima, terduga pelaku juga merupakan guru mata pelajaran Agama di sekolah tersebut. Fakta ini semakin mencoreng nama baik dunia pendidikan karena guru agama seharusnya menjadi teladan moral, bukan justru terlibat dalam dugaan tindakan yang melanggar norma dan hukum.
“Ini bukan sekadar soal aturan kedinasan, tapi soal perlindungan anak-anak. Langkah tegas harus diambil sejak awal, bukan setelah publik bereaksi,” tambah Uha.
Terlambat Bertindak dan Minim Perlindungan Korban
Uha menilai penonaktifan guru terduga yang baru dilakukan setelah kasus viral memperlihatkan lemahnya upaya perlindungan korban di lingkungan sekolah. Ia mengingatkan bahwa sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman, bukan justru membiarkan terduga berkeliaran di dekat korban.
“Korban jelas butuh perlindungan segera. Tapi yang kita dengar dari kepala sekolah justru hanya soal kondisi sekolah yang kondusif. Pernyataan seperti itu kurang empatik terhadap kondisi psikis korban,” ujarnya.
Selain itu, Uha menyoroti tidak adanya penjelasan tegas dari pihak sekolah mengenai pendampingan psikologis yang diterima korban. Padahal dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, pemulihan psikis merupakan hal yang sangat penting.
“Kalau memang ada pendampingan, sebutkan dengan jelas. Jangan sampai korban hanya dibiarkan kembali ke kelas tanpa perhatian pada kondisi mentalnya,” tegas Uha.
Komparasi dengan Kasus AA, Respons Cepat vs Respons Setelah Viral
Uha membandingkan penanganan di SMA Negeri 3 Kuningan dengan kasus AA (51), pemulung asal Desa Lengkong, Garawangi, yang diduga melecehkan tiga anak termasuk penyandang tunarungu dan balita, pada Selasa, 15 Juli 2025 sekitar pukul 15.30 WIB.
Dalam kasus AA, warga segera mengamankan pelaku dan menyerahkannya ke Polres Kuningan, penyidik menaikkan perkara ke tahap penyidikan, menahan pelaku, serta menjeratnya dengan Pasal 76E jo Pasal 82 UU No. 35/2014. Korban juga langsung menjalani pemeriksaan psikolog anak yang menunjukkan trauma psikis.
“Ini contoh bahwa ketika ada kemauan, penanganan bisa cepat, tegas, dan terukur. Korban mendapat pendampingan, proses hukum berjalan, dan publik mendapat informasi yang jelas,” kata Uha.
Sebaliknya, pada kasus SMA 3 Kuningan, penonaktifan baru dilakukan 28 Juli 2025 dan muncul kesan langkah sekolah terjadi setelah isu ramai.
“Standar perlindungan harus berlaku sama tidak boleh berbeda hanya karena lokusnya sekolah atau pelakunya guru,” ujarnya.
Uha menekankan, pelajaran dari kasus AA adalah kecepatan tindakan, kejelasan pendampingan psikologis, dan transparansi proses hukum, tiga hal yang menurutnya belum terlihat kuat dalam penanganan di SMA 3 Kuningan.
Kontradiksi dengan Pernyataan Polisi di Media
Uha juga menyoroti perbedaan pernyataan sekolah dengan informasi dari Polres Kuningan melalui Unit PPA yang menyebut korban mendapatkan pendampingan, termasuk melibatkan psikolog, serta jaminan hak pendidikan.
“Kalau kita baca keterangan polisi, pendampingan psikolog dinyatakan ada. Namun pihak sekolah lebih menekankan ‘kondusif’ dan sempat menyebut kasus sudah beres secara internal. Ini kontradiktif dan membingungkan publik,” ucapnya.
Ia menilai penyebutan bahwa korban adalah anak anggota Polri semestinya tidak mempengaruhi keseriusan penanganan.
“Setiap anak korban kekerasan seksual harus mendapat perlakuan yang sama, tanpa diskriminasi,” tegas Uha.
“Sekolah harus lebih fokus pada pemulihan korban, bukan sekadar menjaga citra lembaga,” tambahnya.
Tuntutan untuk Proses Hukum: Jangan Sampai Menguap
Menurut Uha, kasus ini harus diusut tuntas secara hukum, bukan cukup diselesaikan secara internal sekolah atau kedinasan. Ia khawatir, tanpa pengawalan publik, perkara berpotensi ‘menguap’ dan hilang seiring waktu.
“Ini bukan perkara kecil. Terduga seorang guru agama yang punya posisi strategis di sekolah. Kalau tidak ada tekanan publik dan pengawalan, saya khawatir proses hukumnya bisa tersendat,” ujarnya.
Uha mendesak Polres Kuningan bekerja maksimal memastikan penegakan hukum berjalan objektif dan proporsional hingga ada kepastian hukum.
“Ini ujian bagi institusi penegak hukum dalam menunjukkan keberpihakan pada korban,” katanya.
“Kami akan terus memantau. Jangan ada kesan perkara ini didiamkan demi menjaga nama baik lembaga atau individu. Korban berhak atas keadilan penuh,” tegasnya.
Evaluasi KCD dan Tuntutan Transparansi Sekolah
LSM Frontal meminta Kantor Cabang Dinas (KCD) Pendidikan Wilayah X dan Dinas Pendidikan Jawa Barat mengevaluasi sikap pihak sekolah yang dinilai tidak transparan sejak awal kasus mencuat.
“Bagaimana mungkin kasus berat seperti ini disebut sudah selesai di internal, padahal polisi sedang memproses? Itu merusak kepercayaan masyarakat terhadap sekolah,” tegas Uha.
Ia juga meminta sekolah mendukung penuh proses hukum yang berjalan serta memastikan pembatasan total akses terduga ke lingkungan sekolah selama proses berlangsung.
“Yang harus dilindungi adalah korban dan siswa lainnya,” ujarnya.
“Evaluasi harus membuat sekolah lebih terbuka dan serius melindungi anak. Jangan ada lagi kesan pembiaran atau penundaan tindakan hanya karena reputasi,” pungkasnya.
.RED