KUNINGAN, KASATU.ID - Peristiwa meninggalnya seorang bayi di RSU Linggajati Kuningan terus menuai sorotan. Kali ini kritik tajam datang dari Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, yang menyayangkan sikap Bupati Kuningan Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, M.Si, yang dinilai lamban dan terkesan abai. Padahal kata Uha, kasus ini menyangkut nyawa manusia dan menyisakan luka mendalam bagi keluarga korban.
“Ini bukan soal administrasi, tapi soal nyawa bayi. Kok respons Bupati lambat sekali? Baru muncul klarifikasi setelah kasusnya viral, disomasi Hotman Paris dan Gubernur angkat bicara,” tegas Uha, Rabu (17/07/2025).
Uha mengungkapkan keprihatinan mendalam atas sikap pemerintah daerah yang tampak adem ayem selama beberapa hari pasca kejadian. Padahal menurutnya, peristiwa itu sudah terjadi sejak tujuh hari sebelum media memberitakan pertama kali pada tanggal 26 Juni 2025.
"Sudah tujuh hari berlalu, keluarga korban baru berbicara ke media karena mereka menunggu adanya itikad baik. Tapi tak ada satu pun pejabat daerah datang menyapa atau meminta maaf," ucapnya.
Kronologi yang disampaikan Andi, suami dari korban, menyebutkan bahwa istrinya Irmawati sudah dalam kondisi pecah ketuban saat tiba di IGD RSU Linggajati. Namun alih-alih ditangani cepat atau dilakukan tindakan darurat, sang istri justru dipindahkan ke ruang rawat inap.
“Air ketuban istri saya sudah banyak di IGD. Bahkan sempat di pel oleh OB. Baru besoknya dilakukan sesar. Ternyata bayi saya sudah meninggal di dalam kandungan," kenang Andi, seperti dikutip dari pemberitaan media.
Uha menilai, kelambatan penanganan ini tidak hanya merupakan kelalaian medis, tetapi mencerminkan kegagalan sistem dalam manajemen rumah sakit daerah. Ironisnya, lanjut Uha, Direktur RSU Linggajati, dr. Edi, justru mengaku baru tahu kejadian tersebut dari wartawan.
“Jujur saya baru tahu peristiwa ini dari wartawan. Heran saya, kok petugas di UGD belum laporan ke saya?” kata dr. Edi dengan ekspresi kaget yang juga dikutip dari pemberitaan media.
Namun yang membuat Uha Juhana lebih geram adalah sikap Bupati Kuningan yang justru menjalankan kunjungan kerja ke Cilacap sehari setelah kejadian. Berdasarkan agenda resmi yang diterima redaksi, Bupati melakukan pertemuan dengan Bupati Cilacap pada hari Jumat tanggal 27 Juni 2025.
“Katanya kunjungan kerja dan sinergi program pembangunan. Tapi buat kami itu tidak relevan ketika ada rakyat yang sedang berduka,” ujar Uha.
Berdasarkan informasi dari pihak internal yang berwenang, Uha menuding kunjungan ke Cilacap tersebut hanya formalitas belaka.
“Itu hanya formalitas saja, surat dibuatkan oleh Bagian Tapem. Intinya ingin motoran," kata Uha membacakan pesan singkat yang diterimanya dari pihak internal.
"Saat rakyatnya berduka, beliau malah jalan-jalan,” imbuhnya miris.
Meski demikian, beberapa pihak yang ikut dalam kegiatan tersebut dan coba dikonfirmasi oleh media terkait kegiatan ke Cilacap menyatakan bahwa kegiatan tersebut memang dalam rangka kunjungan kerja bersama beberapa kepala SKPD yang terkait, hanya saja memang pemberangkatannya menggunakan sepeda motor.
Uha melanjutkan, kalau bukan karena somasi dari pengacara kondang Hotman Paris dan peringatan dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), bisa jadi kasus ini tetap didiamkan.
“Setelah ada somasi Hotman Paris, baru muncul gerakan dari Pemkab. Setelah KDM bicara, baru terlihat Bupati bolak-balik klarifikasi dan membentuk tim khusus. Ini kepemimpinan atau sekadar pencitraan?” katanya dengan nada meninggi.
Ia mengingatkan, pemimpin sejati bukan menunggu viral baru bertindak.
“Pemimpin itu harus hadir lebih dulu dari kamera. Harus tahu lebih cepat dari media. Tapi ini terbalik. Wartawan tahu duluan, Bupati malah baru tanggap setelah tekanan nasional menghebat,” kritiknya.
Uha juga menyesalkan tidak adanya reaksi cepat dari DPRD Kuningan. Ia menilai para wakil rakyat lebih memilih diam dibanding menjalankan fungsi pengawasannya.
“Harusnya Dewan bersuara. Tapi sampai berita ini ramai, tak satu pun anggota DPRD membuka suara. Padahal nyawa bayi hilang karena dugaan kelalaian,” katanya. Ia menyebut diamnya legislatif bisa ditafsirkan sebagai bentuk pembiaran.
Lebih lanjut, ia mendorong agar segera dibentuk tim investigasi independen untuk mengusut tuntas kelalaian ini.
“Kalau hanya klarifikasi tanpa tindakan hukum dan evaluasi sistem yang nyata, ini akan terus terulang. Hari ini anak orang lain, besok bisa jadi anak kita sendiri,” tegasnya.
.RED