Rakyat Menderita, Mahasiswa Kuningan Malah Asyik Ngopi, Roy: Malu Nggak, Bro?
KUNINGAN, KASATU.ID - Mahasiswa adalah harapan terakhir masyarakat yang tertindas. Ia bukan sekadar pemilik Kartu Tanda Mahasiswa, tapi pemilik akal sehat terakhir di tengah absurditas kebijakan. Tapi lihatlah hari ini, apakah mahasiswa Kuningan benar-benar hadir? Atau justru tenggelam dalam kenyamanan kampus, sibuk mengurusi diri, dan bungkam saat rakyat menjerit?
Label “agen perubahan” hanya tinggal slogan basi. Kita mungkin bangga jadi bagian dari organisasi, komunitas, atau BEM, tapi jika tak mampu membaca kondisi sosial dan menyuarakannya, semua itu cuma formalitas kosong.
Beberapa Fakta yang Tak Bisa Kita Pura-Pura Lupa
1. Kemiskinan Masih Tinggi
Data mencatat kemiskinan di Kabupaten Kuningan masih stagnan di angka 11-12%. Di atas rata-rata Jawa Barat, bahkan nasional. Ini bukan sekadar angka, tapi potret kehidupan ribuan keluarga yang bertahan hidup dengan segala keterbatasan. Tapi sayangnya, mahasiswa hari ini lebih rajin menghitung likes daripada menghitung dampak dari alokasi anggaran yang tak efektif.
Kita duduk nyaman di perpustakaan ber-AC, sambil membaca teori pembangunan, tapi di luar sana, masih ada anak-anak yang sekolah tanpa alas kaki. Ironi bukan? Kita tahu semua rumus tentang kesejahteraan, tapi tak pernah menuntut perubahan ketika pemda salah prioritas.
2. 34.804 Warga Kehilangan Hak Bansos
Pencoretan bantuan sosial terhadap puluhan ribu warga mestinya jadi alarm keras bagi para intelektual muda. Tapi yang terjadi? Hening. Sunyi. Tak ada diskusi, tak ada tulisan, tak ada keberanian.
Ke mana mahasiswa ketika ketidakadilan ini terjadi? Apakah kita takut bersuara karena khawatir kehilangan akses ke “kenyamanan” kampus? Atau memang sudah terbiasa bersikap masa bodoh, selama diri sendiri tak terdampak?
3. Isu Stunting, Jalan Rusak, dan Pelayanan Publik yang Mandek
Stunting di Kuningan masih tinggi, jalan antar-desa penuh lubang, pelayanan publik lelet, dan RSUD bahkan diterpa berbagai masalah. Ini bukan hal baru. Tapi mahasiswa seakan telah kebal rasa tak tergugah, tak tergelitik, tak merasa perlu bersikap.
Kita sibuk membuat seminar yang hanya ramai selfie, bukan substansi. Padahal, dari balik kertas kerja kuliah, seharusnya lahir suara kritis dan solusi alternatif. Tapi yang lahir justru keheningan kolektif. Apakah kita lupa tugas kita?
Kita Ini Mahasiswa, Bukan Figuran Sosial
Apa jadinya negeri ini jika mahasiswa hanya jadi penonton sejarah? Yang belajar banyak teori tapi tak pernah turun menyelami realitas. Kita tidak kekurangan cerdas, kita hanya kekurangan yang berani dan peduli.
IPK bisa jadi tinggi, tapi nilai keberanian kita minus. Kita bisa jago presentasi di kelas, tapi gagap saat harus menyampaikan pendapat di forum publik. Dan lebih celaka lagi, kita bangga dengan itu.
Kita terlalu banyak gaya, terlalu sedikit isi. Terlalu sering bicara tentang perubahan dalam ruang-ruang tertutup, tapi tak pernah betul-betul menantang sistem di ruang publik.
Saatnya Kita Tampil, Bukan Cuma untuk Eksis, Tapi untuk Menggigit
1. Analisis Kebijakan, Jangan Cuma Komentar
Cukup sudah jadi komentator di medsos tanpa dasar. Sudah waktunya mahasiswa bicara berdasarkan data, bukan emosi. Bongkar anggaran publik, soroti ketimpangan, dan berani menelanjangi program yang hanya jadi proyek politik. Kalau bukan kita, siapa lagi?
2. Jangan Takut Melawan Kepentingan Elitis
Kebijakan publik hari ini terlalu sering ditulis oleh elite yang jauh dari rakyat. Mahasiswa harus jadi pembatas kekuasaan yang melenceng. Tak usah takut dimusuhi. Kita bukan pencari aman. Kita pencari keadilan.
Kalau mahasiswa hanya mau dekat kekuasaan tapi tak mau mengoreksinya, maka kita bukan agen perubahan, tapi agen peliharaan.
3. Bangun Diskusi, Riset, dan Gerakan
Diskusi publik tak perlu menunggu persetujuan rektorat atau izin dari dinas. Diskusi bisa dimulai dari warung kopi, dari tulisan kritis, dari riset kecil yang jujur. Kita hanya butuh keberanian untuk membuka mata dan menyusun langkah.
Jangan tunggu semua orang sepakat. Mahasiswa tak harus populer. Mahasiswa harus benar.
4. Bersatu Lintas Kampus, Jangan Sibuk Rivalitas Dangkal
Sudahi rivalitas antarorganisasi yang memalukan. Berhenti menganggap kampus lain musuh. Masalah rakyat kita sama. Mari bentuk koalisi gagasan, bukan kubu gengsi. Kalau elite politik bisa bersatu untuk korupsi, kenapa mahasiswa tak bisa bersatu untuk perubahan?
Gaya Tanpa Ketajaman Itu Cuma Kosmetik
Boleh tengil. Boleh stylish. Tapi pastikan otakmu tajam, hatimu hidup, dan keberanianmu nyata. Karena gaya tanpa substansi cuma menjadikanmu pajangan di era krisis ini.
Tak usah sok intelek kalau cuma bisa cuap di story. Tak usah merasa paling peduli kalau tak pernah menulis satu artikel pun soal kondisi daerahmu. Jadilah mahasiswa beneran, bukan influencer yang cuma jago lighting tapi hampa isi.
Akhir Kata: Kita Sedang Diawasi Sejarah
Sejarah sedang mencatat siapa yang bergerak dan siapa yang memilih diam. Jangan sampai nama kita tertulis sebagai generasi yang terlalu takut, terlalu nyaman, dan terlalu sibuk dengan diri sendiri.
Kuningan tak kekurangan masalah. Tapi boleh jadi, Kuningan mulai kekurangan mahasiswa yang benar-benar peduli.
Ditulis oleh: Roy Aldilah
Mahasiswa dari Kabupaten Kuningan yang percaya diam adalah bentuk pengkhianatan paling halus.


