Bukti Diabaikan, IMM Resmi Keberatan dan Siap PTUN-kan Pemkab Kuningan!
KUNINGAN, KASATU.ID - Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kabupaten Kuningan menggugat sikap pasif Pemerintah Kabupaten Kuningan, khususnya Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, terkait aktivitas perkebunan kelapa sawit yang diduga dilakukan secara ilegal oleh PT Kelapa Ciung Sukses Makmur (PT KCSM). Meski sebelumnya telah dikeluarkan surat larangan resmi dan hasil rapat yang menegaskan penghentian kegiatan, fakta di lapangan menunjukkan PT KCSM tetap beroperasi.
IMM menyebut tindakan diamnya Pemkab Kuningan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Surat keberatan resmi telah dilayangkan pada 2 Agustus 2025 dengan Nomor 111/B.10/SKb/VIII/2025, ditandatangani langsung oleh Ketua Umum IMM Kuningan, Renis Amarulloh. Dalam surat tersebut, IMM membeberkan rangkaian bukti dan dasar hukum yang menguatkan gugatan administratif mereka.
Salah satu yang disoroti IMM adalah Surat Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Nomor 500.6.14.3/37/HORTIBUN tertanggal 1 Maret 2025 yang secara eksplisit memerintahkan penghentian distribusi dan penanaman kelapa sawit. Namun, fakta investigasi lapangan menunjukkan kegiatan penanaman masih berlangsung di wilayah Kecamatan Selajambe hingga akhir Juli 2025.
IMM menduga, pembiaran ini bukan sekadar kelalaian birokrasi, melainkan bentuk pelanggaran asas pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa tindakan pemerintah tidak hanya aktif, namun juga pasif termasuk tidak mengambil tindakan saat seharusnya.
Sorotan tajam ini sekaligus menjadi teguran terbuka bagi Pemkab Kuningan agar tidak membiarkan hukum hanya berakhir di atas kertas. IMM menuntut penghentian segera semua aktivitas perkebunan sawit ilegal, serta pemberian sanksi administratif kepada PT KCSM dan pihak-pihak yang diduga terlibat.
Surat Larangan Sudah Terbit, Tapi Sawit Tetap Jalan: Siapa yang Bermain?
Rapat koordinasi lintas pihak pada 21 Maret 2025 yang digelar oleh Pemkab Kuningan, sebenarnya telah memperkuat posisi hukum larangan sawit. Dalam rapat tersebut, Bupati Kuningan secara tegas menyatakan bahwa perusahaan wajib memiliki izin lengkap sebelum beroperasi, termasuk izin lokasi, izin lingkungan, dan izin usaha perkebunan. Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian bahkan menegaskan bahwa tidak ada toleransi untuk aktivitas tanpa izin.
Namun pernyataan tegas dalam rapat itu tampaknya hanya menjadi formalitas belaka. IMM dalam surat keberatannya mengungkapkan bahwa meskipun surat dan keputusan rapat sudah terbit, tidak ada tindak lanjut konkret yang dilakukan oleh dinas terkait. Tidak ada penyegelan, tidak ada penyidikan, tidak ada penindakan di lapangan.
Bukti dugaan pelanggaran ditemukan oleh IMM saat mereka melakukan penelusuran di Kecamatan Selajambe pada 23 Juli 2025. Dalam dokumentasi yang dilampirkan sebagai Bukti P-9, terlihat bahwa aktivitas penanaman kelapa sawit masih berjalan. Padahal, berdasarkan dua dokumen resmi pemerintah, aktivitas tersebut seharusnya sudah berhenti total.
Fakta ini menunjukkan adanya inkonsistensi antara kebijakan di atas meja dan kenyataan di lapangan. IMM menduga ada pembiaran sistemik, atau bahkan kemungkinan konflik kepentingan antara penguasa dan pihak swasta. Hal ini menjadi pertanyaan besar siapa yang bermain di balik kelengahan ini?
Sikap pasif Pemkab dianggap tidak hanya melanggar aturan internal pemerintahan, tetapi juga memperburuk kerusakan lingkungan yang menjadi kekhawatiran utama masyarakat. Apalagi jika benar sawit ditanam tanpa studi lingkungan yang komprehensif.
Pelanggaran AUPB dan Hukum Administrasi Negara: IMM Bawa Masalah Ini ke Jalur Resmi
IMM tidak hanya menyoal aspek teknis, tapi juga menggarisbawahi kerangka hukum yang mengatur soal tindakan administratif pemerintah. Dalam surat keberatan setebal puluhan halaman tersebut, IMM mengutip Pasal 1 angka 8 dan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa tindakan pemerintah termasuk juga sikap pasif yang menyebabkan kerugian atau ketidakadilan.
Pasal tersebut memperjelas bahwa jika pejabat pemerintah tidak melakukan tindakan konkret padahal sudah ada dasar hukumnya, maka tindakan itu termasuk melawan hukum secara administratif. Surat larangan dan hasil rapat seharusnya menjadi dasar hukum yang mengikat, namun justru dibiarkan begitu saja tanpa realisasi.
IMM juga menekankan pelanggaran terhadap asas kemanfaatan, yang merupakan bagian dari Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Menurut IMM, aktivitas sawit bukan hanya tidak menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga merusak lingkungan. Ini dibuktikan dengan kajian yang menyatakan bahwa pendapatan dari sawit lebih kecil dibanding sektor lain seperti pariwisata.
Sebagai bentuk keseriusan, IMM menyiapkan langkah lanjutan berupa pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika tidak ada tanggapan dari Pemkab dalam waktu yang wajar. Mereka menilai sudah memiliki legal standing yang cukup kuat sebagai warga negara yang terdampak dan sebagai organisasi berbadan hukum.
IMM berharap kasus ini menjadi preseden penting bagi upaya penegakan keadilan ekologis dan transparansi kebijakan daerah. "Jangan sampai kelalaian birokrasi justru menjadi celah untuk kejahatan lingkungan," demikian kutipan resmi pernyataan Ketua IMM Kuningan dalam surat tersebut.
IMM Desak Tindak Tegas dan Sanksi pada PT KCSM
Dalam kesimpulan surat keberatannya, IMM menyampaikan dua tuntutan utama kepada Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Kuningan. Pertama, segera hentikan seluruh aktivitas penanaman kelapa sawit oleh PT KCSM di seluruh wilayah Kuningan. Kedua, beri sanksi tegas kepada pihak-pihak yang terindikasi melakukan pelanggaran hukum dan administrasi.
IMM juga menegaskan bahwa keberatan ini tidak hanya mewakili aspirasi organisasi mereka, tetapi juga keresahan banyak aktivis lingkungan dan masyarakat lokal. Beberapa media lokal sebelumnya sudah menyoroti adanya pelanggaran tata ruang dan kegiatan sawit ilegal, namun belum ada tindakan nyata dari pemerintah.
Polemik sawit ini bukan hanya soal legalitas perusahaan, tapi menyangkut arah kebijakan daerah terhadap pengelolaan ruang dan sumber daya alam. Jika Pemkab Kuningan terus membiarkan aktivitas ilegal ini, maka dapat dianggap turut andil dalam kerusakan lingkungan dan kerugian negara.
Selain itu, IMM juga mengisyaratkan kemungkinan membawa isu ini ke ranah lebih luas, termasuk pelaporan kepada Ombudsman Republik Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bila tidak ada tanggapan dari pemda. IMM mengajak masyarakat untuk ikut mengawasi perkembangan kasus ini.
Langkah IMM menunjukkan bahwa kontrol sosial oleh masyarakat sipil tetap penting dalam menjaga akuntabilitas dan integritas pemerintahan daerah. Dalam demokrasi, surat keberatan ini bukan sekadar gugatan, tetapi cermin dari kepedulian publik yang tidak bisa dibungkam.
.RED