Fakta Baru! Ada Dugaan Pemerasan Dari Korban Pada Kasus Asusila Guru Agama SMA 3 Kuningan, Uha: Jika Benar, Proses Hukum Keduanya!
KUNINGAN, KASATU.ID - Kasus dugaan asusila yang menyeret nama seorang guru agama di SMA Negeri 3 Kuningan berinisial IM kini memasuki babak yang lebih rumit. Setelah resmi naik ke tahap penyidikan, muncul temuan baru yang berpotensi mengubah peta pandangan publik.
Dari hasil penelusuran redaksi KASATU.ID, beredar dugaan bahwa bukti awal berupa foto dan tangkapan layar percakapan yang memicu meledaknya kasus ini diduga justru disebarkan sendiri oleh korban. Langkah ini juga diduga dipicu karena adanya rasa kecewa atas dua permintaan korban tentang nilai akademik yang harus bagus dan sebuah sepeda motor tidak dipenuhi oleh IM.
Hal tersebut terungkap dari sebuah bukti percakapan WhatsApp antara korban dan terduga pelaku yang didapatkan redaksi dari sumber orang terdekatnya di sekolah.
Dalam percakapan tersebut diawali dengan pesan terduga pelaku yang seperti sedang dimabuk asmara.
"Gimana atuh, apa yang harus pa IM lakukan supaya kamoo bisa ngobrol lagee, piiiis deh," tulis IM dalam pesan awal yang dibubuhi emotion telapak tangan sebagai tanda permintaan maaf.
"Ada dua syarat dehh biar aku maapinn," balas korban.
Percakapan itu berlanjut keesokan harinya dimana sebelum nya IM mencoba menelpon korban namun diduga tidak direspon yang kemudian ia mengirim pesan kembali kepada korban.
"Hmmmm masih mbo yooo," tulis IM yang kemudian dibalas oleh korban.
"Ada dua syarat sii. Pertama pasti nilai aku harus naek nnti kelas 12. Yang kedua aku mau beli motor," balasnya.
Menanggapi fakta baru yang terungkap, Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, menegaskan, jika fakta ini terbukti dalam penyidikan, maka tidak boleh ada perlakuan hukum yang berat sebelah. Menurutnya, hukum harus berlaku untuk semua pihak, tanpa pandang bulu, meskipun korban masih di bawah umur.
“Kalau memang benar ada unsur permintaan yang apalagi diiringi ancaman penyebaran informasi pribadi, itu sudah masuk kategori pemerasan dan pelanggaran terhadap UU ITE. Meskipun korban di bawah umur, unsur pidana tetap ada. Jangan tebang pilih, keduanya harus diproses sesuai hukum yang berlaku, karena ada juga hukum yang mengatur tentang kejahatan yang dilakukan oleh anak dibawah umur," tegas Uha, Rabu (6/8/2025).
Uha menilai, membiarkan salah satu pihak lolos dari jerat hukum hanya karena statusnya sebagai korban di kasus lain, justru akan menciptakan preseden buruk. Menurutnya, keadilan tidak boleh dipilah berdasarkan siapa yang lebih dulu mengadu, tetapi harus ditegakkan sesuai fakta dan alat bukti.
“Kita bicara prinsip. Keadilan itu harus utuh. Kalau hanya satu pihak yang diproses, sementara pihak lain yang juga melakukan pelanggaran dibiarkan, itu bukan penegakan hukum, tapi pembiaran. Dan pembiaran akan melahirkan masalah baru di kemudian hari,” ujarnya.
Lebih jauh, Uha mengingatkan bahwa kasus ini sudah memicu kegaduhan luas, menimbulkan perdebatan tajam di masyarakat, dan bahkan mencoreng nama baik institusi pendidikan. Menurutnya, dampak ini jauh lebih besar daripada sekadar perselisihan personal, karena telah menyeret reputasi sekolah dan dunia pendidikan Kabupaten Kuningan ke dalam pusaran opini negatif publik.
“Nama baik sekolah sudah tercoreng, kepercayaan masyarakat terkikis, dan dunia pendidikan kita kembali dipertanyakan integritasnya. Ini kerusakan yang tidak bisa diperbaiki hanya dengan klarifikasi. Harus ada langkah hukum yang jelas, transparan, dan tegas,” kata Uha.
LSM Frontal berkomitmen mengawal kasus ini hingga ke pengadilan, baik untuk dugaan asusila maupun dugaan pemerasan, agar publik mendapat gambaran utuh dan keadilan ditegakkan tanpa pengecualian. Pihaknya juga menyerukan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan pihak sekolah untuk tidak hanya diam apalagi menutupi, tetapi proaktif dalam memulihkan citra dan memastikan kejadian serupa tidak terulang.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan lanjutan dari pihak kepolisian terkait temuan fakta baru ini. Publik kini menunggu, apakah kasus ini akan menjadi contoh penegakan hukum tanpa tebang pilih, atau justru berakhir dengan meninggalkan pertanyaan besar di benak masyarakat.
.RED