Fillah Ke Sri Mulyani: Gaji Guru dan Dosen Itu Investasi, Bukan Amal!
KUNINGAN, KASATU.ID - Pendidikan kerap disebut sebagai kunci masa depan bangsa. Namun, menurut Fillah Ahmad A, Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kabupaten Kuningan, kunci itu terasa berat dibuka karena pemegangnya yakni guru dan dosen sering kali dihargai rendah.
Fillah menyoroti fakta bahwa APBN 2025 mencatat sejarah dengan alokasi pendidikan sebesar Rp 724,3 triliun atau sekitar 20 persen dari total belanja negara. Angka itu memenuhi amanat konstitusi dan disebut sebagai yang tertinggi sepanjang sejarah.
“Tetapi fakta di lapangan menunjukkan ironi,” ujarnya, Rabu (13/8/2025).
Ia mengutip pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengakui gaji guru dan dosen di Indonesia memang rendah.
“Banyak di media sosial saya selalu mengatakan, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya nggak besar, ini salah satu tantangan bagi keuangan negara. Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat?” kata Fillah mengulangi ucapan Sri Mulyani.
Menurut Fillah, pernyataan itu memunculkan pertanyaan mendasar tentang mengapa dengan anggaran sebesar itu kesejahteraan pendidik belum juga menjadi prioritas? Ia mengungkapkan bahwa data Kementerian Keuangan menunjukkan hingga Februari 2025 realisasi anggaran pendidikan baru 10,6 persen. Dana yang tidak terserap justru akan dialihkan ke dana abadi, bukan untuk memperbaiki gaji yang rendah.
Fillah memaparkan potret kesejahteraan guru dan dosen di Indonesia yang memprihatinkan. Guru honorer masih ada yang menerima gaji Rp 200 ribu - Rp 300 ribu per bulan, sementara dosen ASN bergaji Rp 2–7 juta, jauh dari ideal jika dibandingkan dengan beban kerja mengajar, membimbing, meneliti, hingga mengurus administrasi.
Ia juga membandingkan kondisi Indonesia dengan negara tetangga. Rata-rata gaji dosen Indonesia hanya setara 1,3 kali upah minimum provinsi (UMP), sedangkan di Kamboja 6,6 kali, Thailand 4,1 kali, Vietnam 3,42 kali, Malaysia 3,41 kali, dan Singapura 1,48 kali.
“Ini bukan sekadar persoalan teknis anggaran, tetapi paradigma kebijakan,” tegasnya.
Menurut Fillah, negara-negara unggul memahami bahwa membayar pendidik dengan layak adalah investasi jangka panjang. Mereka menempatkan guru dan dosen sebagai aset strategis, bukan beban fiskal.
Ia mengingatkan bahwa bonus demografi yang kerap dibanggakan bisa berubah menjadi bencana demografi jika kesejahteraan pendidik tidak diperhatikan.
“APBN yang sehat ibarat tubuh bugar bukan sekadar berat badan ideal, tapi juga punya otot yang kuat. Pendidikan adalah otot itu. Jika guru dan dosen dibayar seadanya, otot itu akan melemah,” ujarnya.
Fillah menegaskan, alih-alih mengandalkan partisipasi masyarakat untuk menutup kekurangan, pemerintah seharusnya menunjukkan komitmen penuh terhadap kesejahteraan pendidik.
“Kalau ada yang bilang menaikkan gaji guru dan dosen itu terlalu mahal, jawabannya sederhana: hitung lagi bukan hanya dengan kalkulator negara, tetapi juga dengan logika dan hati,” katanya.
Menurutnya, menghargai pendidik adalah cara paling pasti untuk menghitung masa depan bangsa dengan benar.
“Setiap tantangan besar menuntut keberanian besar pula. Masa depan bangsa tidak bisa dibayar dengan sisa anggaran; ia harus dibayar penuh, sekarang juga,” tegas Fillah.
.RED