Menguji Integritas Open Bidding JPT di Pemerintahan
Seleksi terbuka (open bidding) dalam pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) di lingkungan pemerintahan merupakan amanat hukum yang tidak hanya mencerminkan semangat reformasi birokrasi, tetapi juga menjadi instrumen untuk memastikan sistem merit berjalan secara konsisten. Melalui mekanisme ini, pengisian jabatan strategis dilakukan dengan prinsip profesionalitas, objektivitas, serta transparansi, sehingga pejabat yang terpilih benar-benar sesuai dengan kualifikasi, kompetensi, dan kebutuhan organisasi.
Namun dalam implementasinya, pelaksanaan open bidding seringkali menghadapi sejumlah persoalan serius. Dari intervensi politik, potensi ketidakindependenan panitia seleksi, hingga munculnya praktik formalisasi semata yang tidak menindaklanjuti hasil seleksi. Kondisi tersebut tidak hanya melemahkan tujuan awal sistem merit, tetapi juga menimbulkan risiko pemborosan anggaran negara serta permasalahan hukum administratif yang dapat menggoyahkan kepercayaan publik terhadap reformasi birokrasi.
Pelaksanaan Open Bidding Dalam Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) di Lingkungan Pemerintahan
Bahwa, dalam rangka memperkuat tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel, reformasi birokrasi di Indonesia telah menempatkan sistem merit sebagai pondasi utama dalam manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN). Salah satu perwujudan konkret dari penerapan sistem merit tersebut adalah pelaksanaan seleksi terbuka (open bidding) dalam pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) di lingkungan instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Open bidding dimaksudkan untuk memastikan bahwa pengisian jabatan strategis dalam birokrasi dilakukan secara professional, objektif, dan kompetitif sehingga jabatan tersebut diisi oleh individu yang memiliki kualifikasi, kompetensi, dan integritas yang sesuai dengan kebutuhan organisasi. Dalam praktiknya, open bidding tidak hanya menjadi bagian dari kebijakan reformasi birokrasi, tetapi juga merupakan amanat peraturan perundang-undangan yang mengikat dan wajib dipatuhi oleh seluruh instansi pemerintah.
Secara konstitusional, dalam pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Oleh karena itu, seleksi terbuka menjadi alat untuk menjamin kesetaraan akses warga negara terhadap jabatan dalam birokrasi publik.
Berdasarkan pasal 108 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN disebutkan bahwa pengisian jabatan pimpinan tinggi dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS. Selanjutnya dalam pasal 115 UU No.5 Tahun 2014 menegaskan bahwa pengisian JPT harus berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja.
Berdasarkan pasal 117 PP Nomor 11 tahun 2017 tentang manajemen ASN sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 17 tahun 2020, diatur bahwa setiap pengisian JPT harus melalui seleksi terbuka, dengan mekanisme penyaringan oleh Panitian Seleksi (Pansel) yang independent dan kredibel, yang kemudian menghasilkan tiga nama calon terbaik untuk diajukan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) untuk dipilih satu diantaranya.
Kemudian, Komisi ASN (KASN) berperan sebagai pengawas pelaksanaan sistem merit dalam pengisian JPT. KASN wajib memberikan rekomendasi, validasi, dan pengawasan atas hasil seleksi terbuka, serta berwenang memberikan teguran dan rekomendasi sanksi apabila ditemukan pelanggaran sistem merit.
Adapun tantangan dan permasalahan implementasi open bidding diantaranya yaitu:
1. Independensi panitia seleksi
Terdapat indikasi bahwa dalam beberapa kasus, Pansel tidak sepenuhnya independen dan dapat terpengaruh oleh kepentingan politik kepala daerah atau pimpinan instansi.
2. Intervensi politik dan diskresi kepala daerah
Kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian memiliki kewenangan memilih satu dari tiga calon terbaik. Namun, seringkali kewenangan ini digunakan untuk memilih calon yang lebih loyal secara politik, bukan berdasarkan kualitas tertinggi.
3. Kurangnya mekanisme evaluasi kinerja Pascapengangkatan
Belum terdapat mekanisme terstruktur untuk mengevaluasi efektivitas kinerja pejabat yang telah diangkat melalui seleksi terbuka.
4. Formalitas proses
Dalam beberapa kasus, open bidding hanya dilakukan sebagai formalitas administratif, di mana hasilnya telah diatur atau diarahkan sebelumnya.
Dalam prinsip ideal open bidding (seleksi terbuka) untuk pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), tidak seharusnya ada intervensi (distract) atau campur tangan langsung dari kepala daerah dalam proses seleksi.
Esensi seleksi harus terbuka untuk menjaga netralitas dan objektivitas. Open bidding dirancang sebagai sistem untuk meminimalisir subjektivitas, kedekatan pribadi, dan intervensi politik dalam pengisian jabatan structural. Seleksi ini dilakukan oleh Panitian Seleksi yang independen, dan bukan oleh kepala daerah secara langsung. Pansel bertugas menilai dan memilih calon berdasarkan kompetensi, kualifikasi, rekam jejak, serta integritas moral, bukan karena kedekatan atau loyalitas politik.
Campur tangan kepala daerah dalam proses ini baik berupa arahan informal, rekayasa hasil seleksi, atau tekanan terhadap Pansel bukan hanya merusak semangat sistem merit, tetapi juga berpotensi melanggar hukum administrasi dan etika pemerintahan.
Sebagaimana dalam pasal 115 UU Nomor 5 tahun 2014 jo pasal 125 dan pasal 126 PP Nomor 11 tahun 2017 menyatakan bahwa peran Pejabat Pembina Kepegawaian (Bupati) hanya muncul pada tahap akhir, yaitu memilih salah satu dari tiga nama calon terbaik yang telah disaring oleh Pansel.
Dalam peraturan KASN Nomor 2 tahun 2016 tentang pedoman pengawasan sistem merit, disebutkan bahwa intervensi politik dalam seleksi terbuka merupakan bentuk pelanggaran sistem merit. Rekomendasi pembatalan ini bisa dikenakan rekomendasi pembatalan hasil seleksi oleh KASN, Sanksi Administratif terhadap kepala daerah, dan potensi gugatan PTUN jika peserta merasa dirugikan oleh proses yang tidak objektif.
Jika terbukti bahwa hasil seleksi dipengaruhi oleh intervensi kepala daerah, maka proses tersebut dapat dikategorikan sebagai maladministrasi, hal ini sesuai dengan UU nomor 37 tahun 2008 tentang ombudsman, yang akibatkan hasil seleksi dapat dibatalkan, ombudsman RI dapat mengeluarkan rekomendasi korektif, dan ASN yang dirugikan dapat mengajukan upaya hukum administratif.
Tidak seharusnya ada “distract” atau intervensi dari bupati dalam proses open bidding. Hal ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip sistem merit dan reformasi birokrasi, tetapi juga berpotensi melanggar hukum administratif dan konstitusional. Peran bupati hanya bersifat administratif di akhir proses, bukan dalam penentuan hasil seleksi.
Untuk menjaga integritas birokrasi dan kepercayaan publik, maka independensi Pansel dan pengawasan oleh KASN harus diperkuat, serta ruang intervensi politik harus ditutup rapat dalam setiap proses seleksi terbuka.
Biaya Open Bidding Yang Terbuang Apabila Hasil Seleksi Tidak Dilaksanakan
Pelaksaan open bidding atau seleksi terbuka merupakan salah satu mekanisme yang lazim digunakan oleh intansi pemerintah maupun badan hukum tertentu untuk menjamin keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengisian jabatan atau pengadaan barang dan jasa. Proses ini biasanya memerlukan alokasi anggaran yang cukup signifikan, termasuk untuk pembentukan panitia seleksi, biaya asesmen, penggunaan jasa pihak ketiga (konsultan atau lembaga penilai independen), serta publikasi dan administrasi lainnya.
Namun demikian, dalam praktiknya sering kali terjadi bahwa hasil dari open bidding yang telah selesai dilaksanakan justru tidak ditindaklanjuti. Artinya, hasil seleksi tidak diangkat atau tidak digunakan, baik karena alasan kebijakan, perubahan kebutuhan organisasi, maupun alasan lainnya yang kadang tidak dijelaskan secara formal. Dalam konteks tersebut, muncul pertanyaan mengenai bagaimana kedudukan biaya yang telah dikeluarkan dalam proses open bidding tersebut. Apakah biaya tersebut dapat dikategorikan sebagai pemborosan atau inefisiensi anggaran? Apakah ada konsekuensi hukum yang timbul jika hasil seleksi tersebut tidak digunakan?
Open bidding atau seleksi terbuka secara normatif telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi), serta Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (untuk pengadaan barang dan jasa). Selain itu, proses ini juga merujuk pada prinsip umum dalam pengelolaan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang mengamanatkan bahwa penggunaan anggaran negara/daerah harus memenuhi prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas.
Dengan demikian, open bidding bukan hanya proses administratif, tetapi juga bagian dari sistem hukum yang mengikat. Oleh karena itu, setiap tahapan dalam proses tersebut, termasuk hasil akhirnya, memiliki implikasi hukum yang harus dipertimbangkan secara cermat.
Secara prinsip, apabila sebuah proses open bidding telah dilaksanakan dengan menggunakan anggaran negara atau keuangan publik, maka hasil dari proses tersebut semestinya ditindaklanjuti sebagai bentuk tanggung jawab atas penggunaan anggaran publik. Apabila hasil open bidding tersebut tidak digunakan atau tidak dilaksanakan tanpa alasan hukum yang jelas dan terdokumentasi, maka terdapat risiko terjadinya efisiensi anggaran, yang berpotensi dikategorikan sebagai pemborosan keuangan negara/daerah.
Hal ini bertentangan dengan pasal 3 UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyatakan bahwa pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara tartib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Pemborosan anggaran, walaupun tidak selalu mengandung unsur pidana, tetap merupakan pelanggaran terhadap prinsip tata kelola keuangan yang baik dan dapat menjadi temuan dalam audit BPK atau pengawasan internal.
Selain itu, berdasarkan Undang – Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, setiap keputusan dan tindakan pejabat pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, etika, dan administratif. Ketika sebuah proses seleksi terbuka tidak ditindaklanjuti tanpa dasar hukum atau alasan yang jelas, maka keputusan tersebut berpotensi digugat baik melalui mekanisme keberatan administratif maupun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), terutama oleh pihak-pihak yang dirugikan dalam proses tersebut.
Bahwa dalam kondisi tertentu, pembatalan atau ketidaklaksanaan hasil open bidding masih dimungkinkan sepanjang memiliki dasar hukum dan alasan yang dapat dibuktikan secara objektif. Misalnya:
1. Terjadi perubahan kebijakan organisasi atau perubahan struktur kelembagaan yang membuat posisi/jabatan yang dibuka tidak lagi relevan;
2. Ditemukannya pelanggaran prosedur atau cacat hukum dalam pelaksanaan open bidding;
3. Adanya keadaan kahar (force majeure) yang menghalangi pelaksanaan hasil seleksi;
4. Penilaian ulang bahwa hasil seleksi tidak memenuhi standar kompetensi atau integritas tertentu setelah dilakukan verifikasi lanjutan.
Namun, seluruh alasan tersebut harus dapat dibuktikan dengan dokumen resmi, seperti notulen rapat, surat keputusan, hasil audit internal, atau kajian hukum yang sah. Tanpa dasar tersebut, maka pembatalan hasil open bidding dapat dikualifikasikan sebagai tindakan sewenang-wenang dan berpotensi melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), khususnya asas akuntabilitas dan kepastian hukum.
Jika pembatalan dilakukan karena alasan strategis, perubahan kebijakan, atau kebutuhan organisasi yang sah dan didokumentasikan, maka biaya yang telah dikeluarkan masih dapat dipertanggungjawabkan secara administratif. Namun, jika pembatalan terjadi karena kelalaian, ketidaksiapan internal, atau motivasi non-teknis, maka terdapat risiko bahwa pejabat penanggungjawab dapat dimintai pertanggungjawaban secara adminstratif dan potensi dilakukan pemeriksaan oleh APIP (inspektorat) atau BPK atas keefektifan penggunaan anggara.
Aspek Hukum jika Program Open Bidding dilaksanakan tetapi tidak diterapkan hasilnya yaitu:
1. Dari sisi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan, setiap tindakan dan keputusan pejabat pemerintahan wajib berlandaskan pada asas efisiensi, efektivitas, kepastian hukum, keterbukaan, dan akuntabilitas. Apabila suatu program dilaksanakan tetapi hasilnya tidak diterapkan, maka telah terjadi pelanggaran terhadap asas efisiensi dan efektivitas. Dana publik yang digunakan tidak menghasilkan dampak sebagaimana direncanakan, sehingga berpotensi menjadi pemborosan anggaran (wasteful spending) yang tidak dapat dibenarkan secara hukum dan etika administrasi negara.
2. Dari sisi keuangan negara, program yang tidak menghasilkan output atau outcome sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), berpotensi menjadi objek temuan BPK atau Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, seluruh pengeluaran negara atau daerah harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Kegiatan yang tidak berdampak atau tidak ditindaklanjuti hasilnya dapat dianggap tidak memenuhi asas efektivitas dan efisiensi, sehingga dipertanyakan dalam audit pengelolaan keuangan.
3. Terdapat potensi tanggung jawab administratif dan etika bagi pejabat yang merancang, menyetujui, atau melaksanakan program tersebut. Apabila terbukti bahwa program dilaksanakan tanpa perencanaan yang matang, tanpa analisis kebutuhan yang valid, atau bahkan dengan itikad tidak baik (misalnya hanya untuk menghabiskan anggaran), maka pejabat yang bertanggung jawab dapat dikenai sanksi administratif sesuai ketentuan dalam PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sanksi tersebut bisa berupa teguran, penurunan pangkat, hingga pemberhentian, tergantung pada tingkat pelanggaran yang dilakukan.
4. Apabila penggunaan anggaran dalam program tersebut disertai dengan unsur perbuatan melawan hukum, seperti rekayasa kegiatan, mark-up, atau pelaksanaan fiktif, maka hal ini bisa berujung pada tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Dari aspek maladministrasi, ketidakterapan hasil program dapat menimbulkan ketidakpuasan publik atau peserta yang dirugikan. Dalam kasus seperti open bidding untuk jabatan pimpinan tinggi, apabila peserta telah melalui proses Panjang namun tidak ada yang diangkat karena alasan yang tidak jelas, maka hal ini dapat dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang atau kelalaian administratif.
Bahwa apabila dalam praktiknya terdapat situasi yang menyimpang, yaitu ketika proses seleksi terbuka telah dilakukan, panitia seleksi telah menetapkan tiga besar (three best candidates), tetapi tidak satu pun dari peserta tersebut yang diangkat, dan kemudian justru diangkat seseorang dari luar peserta seleksi. Praktik ini tidak hanya menyimpang secara administratif, melainkan juga bertentangan secara serius dengan prinsip hukum, asas pemerintahan yang baik, dan bahkan berpotensi melanggar konstitusi.
Kemudian Undang-Undang ASN dengan tegas menyatakan bahwa sistem merit adalah dasar utama dalam manajemen kepegawaian. Pasal 3 UU ASN mengamanatkan bahwa ASN harus dikelola berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, serta bebas dari intervensi politik dan praktik KKN.
Dengan demikian, mengangkat pejabat dari luar hasil open bidding berarti meniadakan proses seleksi berbasis kompetensi, dan justru membuka celah bagi subjektivitas, konflik kepentingan, bahkan potensi jual beli jabatan.
Praktik mengangkat pejabat dari luar hasil seleksi juga bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya:
• Pasal 28D ayat (1): "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."
• Pasal 28C ayat (1): "Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya..."
Peserta seleksi open bidding memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan setara dalam kompetisi jabatan. Mengabaikan hasil seleksi dan mengangkat orang luar merupakan bentuk diskriminasi administratif dan bertentangan dengan asas keadilan, kepastian hukum, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.
Catatan Kaki
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28D ayat (3).
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Pasal 108 ayat (3).
3. Ibid., Pasal 115.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020, Pasal 117.
5. Komisi Aparatur Sipil Negara, Peraturan KASN Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengawasan Sistem Merit.
6. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 3.
8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 10.
9. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
11. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
12. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28D ayat (1).
13. Ibid., Pasal 28C ayat (1).
14. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, Pasal 3.
Ditulis oleh: Redaksi