Soal LGBT di Kuningan, Ade: Jika Dibiarkan, Kami Turun ke Jalan!
KUNINGAN, KASATU.ID - Virlanya video yang menampilkan aksi sekelompok remaja pria yang beejoget dan berlenggak lenggok dan berpakaian menyerupai perempuan di salah satu cafe yang berdasarkan informasi berada di wilayah Desa Cisantana memicu gelombang kekhawatiran atas maraknya perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Kabupaten Kuningan terus meningkat.
Forum Masyarakat Peduli Kemanusiaan Kuningan (FMPK) bersama Yayasan MUKMIN (Muallaf Ikhlas Madani Indonesia) menilai pemerintah daerah masih lamban dalam mengambil langkah strategis. Fenomena ini dianggap mengancam moral dan akhlak generasi muda.
Fx. M Ade Supriadi, pengasuh sekaligus pelayan muallaf di Kuningan, mengungkapkan bahwa pihaknya prihatin melihat tren LGBT yang terus berkembang di wilayah tersebut. Menurutnya, kasus ini bukan sekadar masalah pilihan hidup, melainkan menyentuh dimensi kesehatan, sosial, dan agama.
“Ini masalah serius. Kalau tidak ada tindakan tegas, kami khawatir akan terjadi kerusakan moral yang sulit diperbaiki. Kami tidak ingin Kuningan menjadi zona nyaman bagi perilaku menyimpang,” ujarnya, Rabu (13/8/2025).
Ade menambahkan, fenomena ini harus disikapi dengan langkah preventif, termasuk regulasi yang mengatur pencegahan penyebaran perilaku LGBT. Ia menilai pembiaran akan berujung pada meningkatnya angka penyakit menular seksual dan degradasi moral masyarakat.
Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa persoalan LGBT tidak bisa diabaikan hanya karena alasan toleransi semata. “Toleransi itu ada batasnya. Ketika menyentuh ranah pelanggaran moral dan agama, kita harus bersikap,” tegasnya.
Data Kasus HIV Jadi Sorotan
FMPK menyoroti data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan yang menyebutkan kasus HIV telah mencapai 2.000 hingga tahun 2025. Angka ini dinilai mengkhawatirkan dan berkaitan dengan maraknya perilaku seks bebas, termasuk LGBT.
“Angka ini bukan sekadar statistik. Di baliknya ada penderitaan manusia yang nyata. Sayangnya, sampai sekarang belum ada langkah konkret yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini,” kata Ade.
Menurutnya, data tersebut seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera bertindak. Jika dibiarkan, dikhawatirkan Kuningan akan menghadapi ledakan kasus kesehatan masyarakat yang jauh lebih besar.
FMPK menilai bahwa pemerintah terkesan hanya mengandalkan program rutin tanpa inovasi dan keberanian dalam menindak pelaku penyimpangan seksual. “Padahal, pencegahan jauh lebih murah dan lebih efektif dibandingkan penanganan setelah terjadi,” ujarnya.
Kondisi ini membuat FMPK semakin yakin bahwa intervensi moral dan edukasi publik harus dilakukan segera, dengan melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pihak kepolisian.
Ancaman Aksi Turun ke Jalan
Jika tuntutan mereka diabaikan, FMPK bersama Yayasan MUKMIN berencana melakukan aksi langsung di lapangan. Aksi tersebut bisa berupa demonstrasi damai hingga sweeping di kafe atau tempat hiburan yang diduga menjadi titik kumpul komunitas LGBT.
“Kami mengedepankan amar makruf nahi mungkar. Tapi kalau pemerintah tidak hadir, kami akan hadir sendiri,” tegas Ade.
Langkah ini, menurutnya, bukan untuk menciptakan ketegangan, melainkan untuk memberikan sinyal keras kepada pemerintah bahwa masyarakat menuntut ketegasan.
FMPK juga menyatakan siap berkoordinasi dengan aparat keamanan untuk memastikan aksi yang mereka lakukan tetap berada dalam koridor hukum. Namun, jika pemerintah dan aparat justru tidak bergerak, mereka mengaku siap mengambil risiko.
“Kami tidak akan tinggal diam melihat kerusakan moral di depan mata. Kalau itu berarti kami harus turun ke jalan, kami siap,” pungkasnya.
Hadis Nabi Sebagai Landasan Moral
Dalam pernyataannya, Ade mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi. Dalam hadis itu, Nabi Muhammad SAW menyebutkan empat golongan yang berada dalam murka Allah, yakni lelaki menyerupai perempuan, perempuan menyerupai lelaki, orang yang menyetubuhi binatang, dan lelaki menyetubuhi lelaki.
Menurut Ade, hadis tersebut menjadi dasar keagamaan yang jelas bahwa perilaku LGBT termasuk perbuatan yang dilarang keras dalam Islam.
Ia menekankan bahwa peringatan ini tidak hanya berlaku bagi umat Muslim, tetapi juga menjadi pesan universal bahwa perilaku menyimpang memiliki konsekuensi moral dan sosial.
“Agama sudah jelas melarang. Bahkan secara medis dan sosial, perilaku ini membawa dampak buruk. Jadi tidak ada alasan untuk membiarkannya,” ujarnya.
FMPK menegaskan, perjuangan mereka bukan untuk mendiskriminasi individu, melainkan menolak perilaku yang dinilai melanggar norma agama, hukum, dan budaya lokal.
Desakan untuk Pemerintah Daerah
FMPK menyerukan agar pemerintah eksekutif maupun legislatif segera membuat regulasi yang membatasi dan mencegah penyebaran perilaku LGBT di Kuningan. Langkah tersebut dapat meliputi aturan hukum, kampanye edukasi, hingga program rehabilitasi bagi pelaku.
Mereka menilai, selama ini pemerintah terlalu berhati-hati hingga terkesan menghindari isu ini, padahal masyarakat sudah mendesak adanya solusi nyata.
“Kalau terus dibiarkan, kami khawatir generasi muda kita akan kehilangan arah. Pemerintah harus hadir, bukan hanya diam,” kata Ade.
Selain itu, mereka meminta agar lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, dan media lokal turut mengambil peran aktif dalam mengedukasi publik tentang bahaya perilaku menyimpang.
Bagi FMPK, sikap tegas pemerintah bukan hanya soal menjaga moral, tetapi juga melindungi kesehatan dan masa depan generasi Kuningan.
.RED