Sosok 'Kuda Hitam' Diprediksi Masuk Arena Open Bidding Sekda Kuningan, Siapakah Dia?
KUNINGAN, KASATU.ID - Polemik pengisian jabatan Sekda Kuningan bermula dari open bidding tahun 2024 yang dilaksanakan saat masa Penjabat Bupati. Dari proses tersebut, panitia seleksi berhasil menetapkan tiga besar kandidat, yakni A. Taufik Rohman, Guruh Irawan Zulkarnaen, dan Toni Kusumanto. Namun, hasil itu hingga kini tidak digunakan.
Keputusan tersebut menuai sorotan. Pasalnya, proses seleksi tersebut menyerap anggaran besar, diperkirakan mencapai Rp500 juta. Kini, dana itu dianggap terbuang percuma karena hasilnya diabaikan.
Sejumlah pengamat menilai OB 2024 dilakukan di luar momentum. Penetapan Sekda definitif seharusnya menjadi kewenangan kepala daerah terpilih, bukan pejabat sementara. Jika dipaksakan, hasilnya berpotensi digugat ke PTUN.
Masa jabatan Pj Sekda A. Taufik pun berakhir pada Februari 2025, lalu digantikan oleh Beni Prihayatno. Kondisi ini semakin menguatkan argumen bahwa Kuningan membutuhkan seleksi baru yang lebih sahih.
Sejak saat itu, kursi Sekda selalu menjadi bahan diskusi di kalangan birokrat maupun masyarakat.
Restu Kemendagri untuk Seleksi Ulang
Setelah tarik ulur, Bupati Kuningan akhirnya mendapat restu dari Kementerian Dalam Negeri untuk menggelar open bidding ulang. Keputusan ini dipandang sebagai jalan keluar untuk mengakhiri polemik.
Kemendagri menilai, indeks merit birokrasi Kuningan belum memenuhi syarat untuk jalur manajemen talenta. Karena itu, satu-satunya opsi realistis adalah membuka kembali seleksi secara terbuka.
Meski begitu, kritik tetap muncul. Publik menyoroti rapat tertutup yang sebelumnya digelar bersama pihak eksternal. Mereka menuntut agar perangkat resmi daerah seperti Wakil Bupati, Pj Sekda, BKPSDM, Baperjakat, dan Bagian Hukum lebih dilibatkan.
Bupati sendiri menegaskan, seleksi ulang akan dilakukan secara transparan, adil, dan profesional, sehingga hasilnya dapat diterima semua pihak.
Dukungan dan Sorotan Publik
Langkah menggelar seleksi ulang mendapat respons beragam. Di satu sisi, dukungan datang dari organisasi kemasyarakatan seperti IPSI Kuningan dan GP Ansor. Mereka menilai Sekda definitif sangat dibutuhkan untuk memperkuat koordinasi antar-OPD dan mempercepat pembangunan.
Menurut mereka, tanpa Sekda definitif, efektivitas jalannya pemerintahan akan terganggu. Karena itu, percepatan open bidding dianggap sangat penting.
Namun di sisi lain, publik tetap mengkritik soal efisiensi anggaran. Hasil OB 2024 yang memakan biaya besar dianggap sia-sia, sehingga masyarakat menuntut agar seleksi ulang kali ini benar-benar tepat sasaran.
Pengamat menilai, kondisi ini merupakan cermin lemahnya perencanaan birokrasi di daerah. Jika tidak hati-hati, polemik berulang hanya akan memperburuk citra pemerintah daerah.
Meski begitu, harapan baru kini muncul agar seleksi ulang bisa menghasilkan figur Sekda yang kredibel, berintegritas, dan mampu menjawab kebutuhan birokrasi.
Figur Alternatif di Luar Tiga Besar Lama
Keputusan untuk tidak memakai hasil open bidding 2024 membuka babak baru kompetisi. Artinya, tiga besar nama yang sempat muncul dari seleksi sebelumnya tidak lagi otomatis menjadi finalis pada proses kali ini meskipun kembali diberi kesempatan untuk mengikuti seleksi. Sejumlah pengamat mengatakan bahwa situasi ini membuka peluang bagi figur alternatif untuk ikut bersaing.
Dalam dinamika birokrasi, figur alternatif sering disebut sebagai “kuda hitam”. Mereka biasanya muncul dari kalangan pejabat eselon II yang tidak banyak diperhitungkan, namun punya pengalaman dan kinerja kuat.
"Tidak digunakannya hasil seleksi lama juga menandakan bahwa Bupati ingin memulai dari nol. Hal ini memberi ruang bagi kandidat yang sebelumnya jarang terekspos untuk tampil ke permukaan," kata Asep Saepudin, salah satu pengamat di Kabupaten Kuningan, Jum'at (22/8/2025).
Kondisi semacam ini sering kali menguntungkan kuda hitam. Mereka tidak terbebani isu lama, tidak terseret polemik 2024, dan bisa menghadirkan suasana baru dalam kompetisi.
Menurutnya, isu kemunculan figur baru di luar tiga besar lama pun menjadi bahan spekulasi publik, siapa sosok yang bisa mengubah peta persaingan.
Karakteristik 'Kuda Hitam' yang Dinilai Berpeluang
Dalam wacana publik, kata Asep, kuda hitam identik dengan sosok teknokrat low-profile namun punya rekam jejak panjang di birokrasi. Walau jarang muncul di panggung politik atau media, prestasinya diakui internal pemerintahan.
Kuda hitam juga biasanya memiliki portofolio nyata. Ia pernah memimpin OPD strategis dengan capaian terukur, baik dalam serapan anggaran maupun inovasi pelayanan. Faktor ini membuat nilai asesmennya berpotensi unggul dibanding kandidat populer.
Selain itu, mereka hampir selalu memiliki syarat administrasi lengkap seperti lulusan PKN Tk. II, lulus assessment center, serta tanpa catatan negatif di masa lalu. Hal ini menjadi modal kuat untuk lolos seleksi formal.
"Yang tak kalah penting adalah netralitas politik. Figur kuda hitam jarang terasosiasi dengan kubu tertentu, sehingga relatif lebih mudah diterima banyak pihak, termasuk pemerintah pusat," katanya.
Kombinasi sifat low-profile, portofolio jelas, kelengkapan syarat, serta netralitas politik menjadikan kuda hitam berpeluang kuat untuk menyalip kandidat lain dalam open bidding ulang
Dukungan Tersembunyi dan Dampak pada Peta Persaingan
Selain faktor pribadi, Asep juga mengatakan bahwa kekuatan kuda hitam juga datang dari dukungan diam-diam birokrat menengah. Banyak dari mereka cenderung lebih nyaman dengan figur netral ketimbang kandidat yang sudah terpolarisasi.
Dukungan serupa juga bisa datang dari organisasi eksternal yang berharap hadirnya figur tanpa beban masa lalu. Sosok baru dianggap mampu membawa penyegaran dalam tubuh birokrasi.
Kekuatan semacam ini jarang terlihat di permukaan, tetapi bisa sangat menentukan saat tahap wawancara dan penilaian akhir.
"Jika kuda hitam benar-benar mampu menembus final, peta persaingan akan berubah drastis. Kandidat populer bisa tergeser oleh keunggulan teknis dan dukungan internal birokrasi," kata Asep.
"Dengan demikian, kuda hitam berpotensi menjadi faktor penentu sekaligus wajah baru birokrasi Kuningan yang diharapkan publik," imbuhnya.
Harapan Transparansi dan Akhir Polemik
Dengan restu Kemendagri, open bidding ulang Sekda Kuningan segera digelar. Publik kini menunggu transparansi panitia seleksi agar hasilnya benar-benar bisa diterima semua pihak.
Bupati berjanji, seleksi ini akan dijalankan profesional tanpa intervensi politik. Tujuannya jelas melahirkan Sekda definitif yang mampu memperkuat birokrasi dan mempercepat pembangunan.
Pengamat mengingatkan, keterbukaan dalam setiap tahapan wajib dijaga. Publikasi hasil asesmen dan skor kandidat dinilai penting untuk menghindari tudingan titipan.
Harapan besar kini tertuju pada lahirnya figur Sekda yang netral, berintegritas, dan mampu menjembatani kepentingan publik.
Pertanyaan kini tinggal satu yakni apakah Sekda definitif Kuningan akan lahir dari wajah lama, kandidat populer, atau justru kuda hitam yang selama ini tak diperhitungkan?
(imm)