Surat Edaran Cacat Hukum Catut Instansi Kemenag dan APRI, Uha: Bupati Kuningan Segera Copot Kadisdukcapil!
KUNINGAN, KASATU.ID - Polemik Surat Edaran Disdukcapil Kabupaten Kuningan terkait pencatatan anak dari pernikahan siri semakin memanas. Kali ini, Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, secara tegas melontarkan kritik keras dan mendalam atas langkah Disdukcapil yang dinilainya tidak hanya cacat prosedur, namun juga berpotensi melanggar hukum karena mencantumkan nama-nama instansi yang merasa tidak pernah dikonfirmasi.
Dugaan Pencatutan Nama Instansi, Soroti Pelanggaran Etika dan Hukum
Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, menilai bahwa tindakan Disdukcapil mencantumkan narasi koordinasi dan kesepakatan bersama dengan instansi lain tanpa adanya proses konfirmasi resmi adalah bentuk pencatutan nama yang tidak dapat dibenarkan secara hukum. Menurutnya, jika benar Kementerian Agama dan APRI tidak pernah dilibatkan secara formal, maka Disdukcapil telah melakukan pelanggaran terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam administrasi pemerintahan.
“Kami menilai ini fatal pencatutan nama instansi. Jika tidak ada konfirmasi dan tidak ada dokumen resmi, maka ini bukan hanya pelanggaran etika birokrasi, tapi juga mengarah pada dugaan pemalsuan informasi publik,” tegas Uha.
Ia menjelaskan bahwa dalam praktik pemerintahan, sebuah kesepakatan antar instansi harus dibuktikan dengan dokumen tertulis, bukan sekadar komunikasi informal. “Surat Edaran ini menyebut ada hasil kesepakatan bersama, tapi tidak disebutkan kapan kesepakatan dibuat, siapa yang hadir, dan bentuk apa yang digunakan. Ini mencurigakan,” tandasnya.
Uha juga mempertanyakan keberanian Disdukcapil mencantumkan narasi ‘kesepakatan bersama’ tanpa dokumen pendukung yang ditandatangani oleh para pihak terkait. Menurutnya, ini sangat bertentangan dengan kaidah hukum administrasi negara.
“Kalau mengacu pada praktik kesepakatan resmi seperti SKB (Surat Keputusan Bersama) antar kementerian, tentu ada format resmi, ada tanda tangan dan dokumen legal. Bukan sekadar lisan apalagi asumsi,” katanya.
Kritik Tajam: Dinas Perangkat Daerah Tidak Boleh Gegabah Terbitkan Kebijakan Publik
Uha Juhana mempertanyakan kompetensi dan prinsip kehati-hatian dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dalam menyusun kebijakan yang menyangkut hak konstitusional warga negara. Ia menilai bahwa surat edaran yang menyangkut pencatatan anak dari nikah siri bukan perkara remeh, dan seharusnya melibatkan semua pihak terkait melalui mekanisme formal.
“Surat yang berdampak langsung pada pencatatan sipil warga negara tidak boleh dibuat secara gegabah. Ada hak hukum warga yang terlanggar jika kebijakan dibuat sepihak,” ujar Uha.
Ia menekankan bahwa kebijakan publik yang sah harus berdasarkan prinsip legalitas, akuntabilitas, dan partisipatif. “Disdukcapil justru mengabaikan semua prinsip itu. Mereka mengambil keputusan sepihak, seolah-olah sudah dikoordinasikan padahal tidak,” katanya.
Uha merujuk pada pernyataan dari Kasi Bimas Islam Kemenag Kuningan, H. Ahmad Syahid Ridlo Maulana, yang merasa belum pernah dikonfirmasi mengenai surat tersebut. “Kalau Kemenag Kuningan saja merasa tidak dikonfirmasi, lalu dasar hukum surat edaran keluar ini apa?” tanyanya.
Senada dengan itu, Ketua APRI Kabupaten Kuningan, Arif, juga menyatakan bahwa surat tersebut belum pernah dikomunikasikan secara resmi dan masih dalam proses tahap koordinasi. “Ini membuktikan bahwa narasi ‘kesepakatan bersama’ yang ditulis Disdukcapil tidak faktual,” tegas Uha.
Regulasi yang Dilanggar: Dari UU Administrasi Pemerintahan hingga Potensi Pidana
Uha Juhana menjelaskan bahwa tindakan mencantumkan informasi yang tidak benar dalam dokumen resmi negara bisa masuk dalam kategori pelanggaran hukum. Ia menyebut Pasal 52 dan Pasal 53 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mewajibkan setiap keputusan administrasi dibuat berdasarkan prosedur yang sah dan substansi yang benar.
“Kalau surat dibuat dengan mencatut nama instansi tanpa sepengetahuan pihak tersebut, itu artinya ada informasi palsu dalam dokumen negara. Ini bisa digugat,” tegasnya.
Lebih jauh, Uha menyebut potensi pelanggaran pidana yang bisa dikenakan kepada oknum di balik penerbitan surat tersebut. Merujuk Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, ia mengatakan bahwa dokumen yang mengandung informasi fiktif atau seolah-olah disepakati bersama, bisa dikategorikan sebagai surat palsu.
“Kalau faktanya tidak ada kesepakatan, tapi disebutkan seolah-olah ada, itu manipulasi dokumen negara. Ini ranah pidana, bukan sekadar kesalahan administratif,” tegasnya.
Ia juga menyebutkan Pasal 55 KUHP tentang penyertaan, yang memungkinkan adanya pertanggungjawaban pidana bagi pihak-pihak yang terlibat atau membiarkan terjadinya perbuatan tersebut.
Uha menilai bahwa hal ini sudah cukup menjadi dasar hukum bagi Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar untuk mengambil tindakan tegas terhadap pejabat terkait.
Tuntutan Pencopotan Kadisdukcapil, Uha Minta Bupati Bersikap Tegas
Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap keberlangsungan pemerintahan yang bersih dan profesional, Uha mendesak Bupati Kuningan untuk mencopot Kepala Disdukcapil atas kinerja yang dinilainya gegabah dan berimplikasi hukum. Ia mengatakan bahwa Bupati tidak boleh tinggal diam terhadap pelanggaran prosedural yang dilakukan oleh bawahannya.
“Ini bukan soal sepele. Ini sudah menyangkut pencatutan narasi, pemalsuan dokumen, dan potensi pelanggaran hak asasi warga negara. Masa Bupati hanya diam?” tegas Uha.
Ia menilai pencopotan kepala dinas merupakan langkah minimal untuk menjaga kepercayaan publik terhadap birokrasi. “Kalau tidak ada tindakan, artinya pembiaran. Ini justru mencederai prinsip good governance yang selama ini digaungkan,” ujarnya.
Menurut Uha, dalam sistem pemerintahan yang sehat, setiap pelanggaran yang berdampak hukum harus disikapi secara objektif dan profesional. “Kepala dinas itu jabatan strategis. Tidak boleh diserahkan kepada orang yang tidak paham prosedur,” tandasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa jika masalah ini dibiarkan berlarut, maka LSM Frontal siap membawa persoalan ini ke jalur hukum.
“Kami sedang siapkan kajian hukum dan bukti-bukti untuk melaporkan hal ini ke aparat penegak hukum jika tidak ada langkah korektif dari Pemkab,” pungkasnya.
.RED