Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
KaSatu.id - To The Point

KaSatu.id - To The Point

  • Business
  • _Strategy
  • _Economy
  • _Finance
  • _Retail
  • _Advertising
  • _Careers
  • _Media
  • _Real Estate
  • _Small Business
  • _The Better Work Project
  • _Personal Finance
  • Tech
  • _Science
  • _AI
  • _Enterprise
  • _Transportation
  • _Startups
  • _Innovation
  • Markets
  • _Stocks
  • _Indices
  • _Commodities
  • _Crypto
  • _Currencies
  • _ETFs
  • Lifestyle
  • _Entertainment
  • _Culture
  • _Travel
  • _Food
  • _Health
  • _Parenting
  • Politics
  • _Military & Defense
  • _Law
  • _Education
  • Reviews
  • _Tech
  • _Streaming
  • _Tickets
  • _Kitchen
  • _Style
  • _Beauty
  • _Gifts
  • _Deals
  • Video
  • _Big Business
  • _Food Wars
  • _So Expensive
  • _Still Standing
  • _Boot Camp
  • Home
  • News
  • Politik
  • Ekonomi
  • Artis
  • Trending
  • Tekno
  • Oto
  • Dunia
  • Gaya
  • Sehat
  • Bola
  • Olahraga
  • Foto
HEADLINE HARI INI
  • Beranda
  • Hukum
  • Kritik LSM
  • Kuningan
  • Pemerintahan
  • Perlindungan Anak

Surat Edaran Kadisdukcapil Dikritik Keras, Uha: Anak Hasil Pernikahan Siri Bukan Warga Negara Kelas Dua!

Oleh Redaksi
Agustus 06, 2025

KUNINGAN, KASATU.ID - Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, meledakkan kritik tajam terhadap surat edaran Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Kuningan yang baru saja diterbitkan. Surat bernomor 400.12.2/819/Disdukcapil tertanggal 4 Agustus 2025 yang akan mulai diberlakukan mulai tanggal 11 Agustus 2025 itu mengatur bahwa anak dari pasangan nikah siri hanya bisa dicatat sebagai anak seorang ibu, tanpa menyebutkan nama ayahnya dalam akta kelahiran.

Uha menilai kebijakan itu sangat diskriminatif dan mencederai prinsip konstitusi negara. Ia menyebut bahwa anak-anak dari pasangan nikah siri bukanlah warga negara kelas dua yang bisa dibatasi hak hukumnya hanya karena kekurangan administratif dari orang tuanya.

"Negara tidak boleh seenaknya menyederhanakan hak anak hanya menjadi urusan surat kawin orang tuanya," tegasnya, Rabu (6/8/2025).

Menurut Uha, tindakan Disdukcapil Kuningan ini tidak hanya memalukan secara administratif, tetapi juga berbahaya secara yuridis.

"Jangan karena anak lahir dari nikah siri, lalu negara merasa berhak menghapus nama ayahnya di akta kelahiran. Itu bentuk penghilangan identitas yang kejam dan tidak berperikemanusiaan," ujarnya dengan nada geram.

Ia menambahkan, dalam era modern yang menjunjung tinggi hak asasi dan perlindungan anak, kebijakan semacam ini adalah kemunduran sistem hukum dan administrasi negara. Ia menyebut bahwa tindakan tersebut menciptakan stigma sistemik terhadap anak yang tidak bersalah atas status hukum orang tuanya.

"Ini sama saja meneguhkan praktik negara yang menghukum anak atas kesalahan orang tua. Sangat tidak etis, sangat tidak adil," katanya.

Uha juga memperingatkan bahwa dalam jangka panjang, kebijakan seperti ini akan memperkuat ketimpangan sosial dan menumbuhkan trauma kolektif dalam masyarakat.

“Anak-anak ini akan tumbuh dengan catatan sipil yang cacat karena negara gagal membela hak dasarnya. Ini bukan sekadar kelalaian birokrasi. Ini bentuk kekerasan struktural yang diformalkan dalam surat edaran,” pungkasnya.


Melawan Putusan MK dan UUD 1945

LSM Frontal juga menggarisbawahi bahwa kebijakan ini secara eksplisit melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Dalam putusan itu ditegaskan bahwa anak yang lahir di luar nikah memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya, sepanjang ada pengakuan atau pembuktian sah.

"Putusan MK itu mengikat semua instansi negara, termasuk Disdukcapil. Siapa yang memberi hak kepada Disdukcapil untuk menolak pelaksanaan putusan MK?” tanya Uha.

Ia mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga konstitusional tertinggi dalam sistem ketatanegaraan. Mengabaikan putusannya sama saja dengan membangkang terhadap konstitusi.

“Kalau Disdukcapil tidak menghormati putusan MK, sama artinya mereka sedang membangun hukum sendiri. Ini bukan negara hukum namanya, tapi negara semaunya,” tegas Uha.

Uha juga menekankan bahwa hak anak atas identitas dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 27 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Oleh karena itu, pencantuman nama ayah dalam akta kelahiran bukanlah opsi kebijakan, tetapi kewajiban negara.

"Ini bukan soal selera pemerintah daerah. Ini soal mandat konstitusi yang wajib ditegakkan," ujarnya.

Ia menilai bahwa pejabat yang mengabaikan hak anak harus diberi peringatan keras, bahkan bisa dilaporkan ke Kementerian Dalam Negeri dan Komnas Perlindungan Anak.

“Jangan sampai jabatan membuat seseorang lupa bahwa dia bekerja untuk rakyat, bukan sebaliknya. Kalau tidak bisa menegakkan hukum, silakan mundur,” ucapnya tegas.

Uha menambahkan bahwa praktik seperti ini jika dibiarkan akan memperkuat budaya diskriminasi dalam birokrasi.

"Anak dari nikah siri akan tumbuh dengan luka karena negara tidak mau mengakuinya secara hukum. Ini dosa konstitusional yang tidak bisa dimaafkan hanya dengan alasan administrasi," ujarnya menutup sub-poin ini.

Surat Edaran Bukan Produk Hukum yang Sah

Selain isinya yang problematik, Uha Juhana juga mempertanyakan dasar hukum dari surat edaran tersebut. Ia menyebut bahwa surat edaran bukanlah bentuk peraturan perundang-undangan yang sah.

"Surat edaran bukanlah produk hukum yang mengikat warga. Ia tidak setara dengan Perbup atau Perda. Jadi jangan dijadikan dasar untuk menolak hak seseorang," tegasnya.

Menurutnya, kebijakan publik yang menyentuh hak dasar warga negara tidak bisa hanya didasarkan pada hasil rapat atau kesepakatan antarinstansi. Harus ada regulasi resmi yang dibentuk melalui prosedur hukum yang benar. 

"Kalau hanya pakai surat edaran, itu rawan gugatan. Apalagi jika dampaknya diskriminatif," katanya.

Uha menambahkan, pihaknya saat ini tengah mengkaji kemungkinan mengajukan gugatan ke PTUN jika terdapat korban dari kebijakan tersebut.

“Kalau ada masyarakat yang anaknya ditolak pencatuman nama ayah padahal ada pengakuan, kami siap dampingi. Ini pelanggaran serius terhadap hak sipil,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa pelanggaran hak atas dokumen kependudukan bisa berdampak sistemik. Anak akan sulit mengakses pendidikan, jaminan kesehatan, dan pelayanan negara lainnya.

“Sekali anak itu dicatat tanpa nama ayah, maka efeknya jangka panjang. Sistem akan terus mencatatkan mereka sebagai anak tanpa asal-usul yang utuh,” ujarnya.

LSM Frontal juga mendesak agar Pemerintah Kabupaten Kuningan segera membatalkan surat edaran tersebut dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih akomodatif terhadap hak anak dan prinsip-prinsip hukum nasional.

“Kalau surat ini tidak ditarik, maka ini bukan lagi soal administratif. Ini soal keberanian publik membela konstitusi,” tegasnya.

Negara Harus Hadir Bukan Menghukum

Di akhir pernyataannya, Uha Juhana menegaskan bahwa negara seharusnya hadir sebagai pelindung, bukan sebagai penghukum warga yang lemah secara hukum dan ekonomi.

“Pasangan nikah siri itu banyak yang tidak punya akses hukum, pendidikan, atau bahkan keberanian mencatatkan nikahnya. Tapi anak-anak mereka tidak boleh menanggung beban itu,” ungkapnya.

Menurutnya, pemerintah daerah seharusnya membuka solusi alternatif, seperti mencantumkan status “kawin belum tercatat” dalam Kartu Keluarga, sebagaimana telah dilakukan di berbagai daerah progresif. Ini adalah pendekatan inklusif yang tidak melanggar hukum nasional, sekaligus tetap menjaga ketertiban administrasi.

“Jangan semua hal dipukul rata dengan pendekatan koersif. Negara itu pelayan, bukan hakim,” katanya.

Uha menekankan bahwa kebijakan administrasi tidak boleh bertentangan dengan prinsip kemanusiaan.

“Anak-anak ini bukan produk kesalahan. Mereka adalah warga negara yang sah yang wajib dilindungi oleh konstitusi. Kalau negara abai, maka kami dari masyarakat sipil akan bergerak,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa semangat reformasi birokrasi harus didasarkan pada nilai-nilai keadilan sosial, bukan sekadar ketertiban arsip. 

"Apa gunanya data kependudukan rapi, kalau menyisakan anak-anak yang tidak diakui secara hukum oleh negaranya sendiri?" tanya Uha retoris.

LSM Frontal, menurutnya, akan terus mengawal isu ini dan mendesak pembentukan forum publik untuk mengevaluasi total kebijakan ini.

"Kami tidak akan diam. Kami akan bicara untuk mereka yang haknya dilucuti oleh lembaran kertas bernama surat edaran. Sampai negara kembali waras," pungkas Uha Juhana menutup pernyataannya.

.RED
Tags:
  • Hukum
  • Kritik LSM
  • Kuningan
  • Pemerintahan
  • Perlindungan Anak
Bagikan:
Baca juga
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Berita terkait
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Berita terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Tampilkan lebih banyak
Posting Komentar
Batal
Most popular
  • Bupati Kuningan Menunjuk Wahyu Hidayah Sebagai Pj Sekda, Uha: Keputusan Tepat Mendorong Perubahan

    Agustus 20, 2025
    Bupati Kuningan Menunjuk Wahyu Hidayah Sebagai Pj Sekda, Uha: Keputusan Tepat Mendorong Perubahan
  • Breaking News! Jadwal Pengadaan PPPK & ASN Resmi Diperpanjang, Cek Detailnya Sekarang!

    Agustus 21, 2025
    Breaking News! Jadwal Pengadaan PPPK & ASN Resmi Diperpanjang, Cek Detailnya Sekarang!
  • Gempa Dahsyat Guncang Bekasi, Getarannya Sampai Jakarta dan Bandung! Ini Penjelasan Lengkap BMKG

    Agustus 20, 2025
    Gempa Dahsyat Guncang Bekasi, Getarannya Sampai Jakarta dan Bandung! Ini Penjelasan Lengkap BMKG
  • Editorial: OB Sekda Kuningan 2025, Sudah Ada Calon Pemenang?

    Agustus 17, 2025
    Editorial: OB Sekda Kuningan 2025, Sudah Ada Calon Pemenang?
  • Kramatmulya Darurat Narkoba? Surat Kaleng Jadi Alarm Keras untuk Aparat

    Agustus 20, 2025
    Kramatmulya Darurat Narkoba? Surat Kaleng Jadi Alarm Keras untuk Aparat
Gila Temax
REDAKSI
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi
Copyright © 2025 KASATU.ID from PT. SADAYA MEDIA UTAMA. All rights reserved.