Produksi Lokal, Kualitas Nasional! Layangan Sukoy Buatan Opik Diburu Para Pecinta Aduan
Foto: Opik Sopiana, Pengrajin layangan asal Sukamulya Cigugur
KUNINGAN, KASATU.ID - Ketika langit musim kemarau mulai dipenuhi warna-warni layangan yang melayang bebas, satu nama menjadi buah bibir di kalangan penggemar layangan adu, Opik Sopiana, pengrajin layangan asal Kelurahan Sukamulya, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan.
Pria sederhana ini kini kebanjiran pesanan hingga kewalahan memenuhi permintaan yang datang tak hanya dari wilayah lokal, tapi juga dari berbagai daerah di luar kota.
Berkat keahlian tangan dan dedikasinya menjaga mutu, Opik berhasil menjadikan rumahnya yang terletak di depan, RT 05 RW 03, Sukamulya, Cigugur, sebagai pusat produksi layangan adu yang digemari pecinta permainan tradisional dengan nama Layangan Sukoy dan Layangan Seot.
Bambu Apus dan Fiber, Rahasia Tahan Banting
Kualitas produk Opik bukan sekadar soal bentuk, tapi juga pada pemilihan bahan baku. Ia menggunakan bambu apus, jenis bambu yang terkenal karena kelenturannya namun tetap kokoh, sangat ideal sebagai kerangka layangan adu yang harus bertahan dari benturan di udara. Beberapa bagian juga diperkuat dengan fiber ringan untuk menjaga kestabilan saat terbang.
“Bambu apus ini saya potong dan jemur sendiri. Kalau salah pilih atau kurang kering, rangkanya bisa bengkok waktu diterbangkan,” ungkap Opik sambil menunjukkan beberapa kerangka layangan yang siap dirakit, Sabtu (2/8/2025).
Proses pembuatan dilakukan secara manual dari awal hingga akhir. Mulai dari pembelahan bambu, pembentukan kerangka, pemasangan benang penjaga (niti), hingga pemotongan plastik dan pewarnaan motif. Tak ada proses yang dilakukan tergesa-gesa. Semua serba presisi, karena menurut Opik, satu kesalahan kecil bisa membuat layangan tidak seimbang di udara.
Motif Khas Jadi Pembeda
Layangan produksi Opik memiliki berbagai ukuran yakni 54/64, 55/57, 56/59 dan ciri khas tersendiri. Ia merancang berbagai motif dan corak unik, dari pola garis-garis tajam, gelombang, hingga kombinasi warna mencolok yang memberikan kesan agresif di udara, sebuah keunggulan tersendiri dalam pertandingan layangan adu.
“Motif itu penting. Biar kelihatan keren pas di langit. Anak-anak biasanya pilih yang warnanya ngejreng, kalau orang dewasa lebih suka yang gagah,” ujar Opik sambil memperlihatkan satu layangan bermotif ‘kepala panah’ warna kuning-hitam, salah satu desain favorit pelanggannya.
Meski dibuat dengan detail dan teknik tinggi, Opik tetap menjual produknya dengan harga terjangkau. Rentang harga mulai dari Rp4.000 hingga Rp8.000 per unit, tergantung pada ukuran, kerumitan motif, dan bahan. Harga ini membuat produknya digemari semua kalangan, dari anak-anak sekolah hingga penghobi dewasa dan kolektor.
Pasar Meluas hingga Luar Daerah
Dulu, Opik hanya menjual di sekitar lingkungan rumah. Namun sejak pandemi, ketika tren permainan luar ruangan meningkat, pasar layangan adu meluas dengan cepat. Kini ia menerima pesanan dari berbagai daerah, termasuk Majalengka, Cirebon, Indramayu, hingga Bandung dan Subang.
Bahkan ada pelanggan yang datang langsung membawa motor bak atau mobil hanya untuk memborong puluhan unit. Sebagian menjual kembali di daerah masing-masing, sebagian lagi menyelenggarakan lomba layangan lokal dan membutuhkan stok dalam jumlah besar.
Namun di balik kabar baik itu, ada tantangan serius: keterbatasan produksi. Dalam sehari, Opik hanya bisa membuat sekitar 20–30 layangan, dengan dibantu oleh tangan sendiri dan sedikit bantuan dari keluarga. Permintaan yang datang terkadang mencapai dua kali lipat dari kapasitas produksinya, membuat pembeli harus rela antre beberapa hari.
Bangga Melestarikan Tradisi
Bagi Opik, usaha ini bukan sekadar mata pencaharian. Lebih dari itu, ia merasa bangga bisa ikut menjaga tradisi permainan rakyat yang nyaris tergilas zaman. Di tengah gempuran permainan digital dan gadget, layangan adu menjadi media nostalgia dan edukasi bagi generasi muda.
“Dulu main layangan itu ajang kumpul. Sekarang alhamdulillah mulai ramai lagi. Saya senang lihat anak-anak mulai turun ke lapang lagi,” katanya.
Beberapa sekolah dan komunitas di Kuningan bahkan sudah mulai rutin mengadakan lomba layangan adu sebagai bagian dari kegiatan ekstrakurikuler atau perayaan hari besar. Opik pun kadang diminta menjadi juri sekaligus penyedia perlengkapan.
Butuh Dukungan Pemerintah
Dengan perkembangan usaha yang pesat, Opik berharap dukungan dari pemerintah daerah, terutama dalam bentuk pelatihan, bantuan alat kerja, dan akses promosi. Menurutnya, banyak pengrajin kecil seperti dirinya yang memiliki potensi tapi terbatas oleh peralatan dan akses pasar.
“Saya pengin ada alat pemotong bambu yang lebih cepat, dan tempat kerja yang lebih layak. Sekarang masih di rumah, kadang numpuk di ruang tamu,” ujarnya sambil tersenyum.
Dia juga berharap layangan adu bisa lebih dikenalkan ke tingkat nasional sebagai bagian dari kekayaan budaya permainan tradisional Indonesia.
“Layangan bukan hanya mainan, tapi juga karya seni. Ada filosofi dan teknik di baliknya,” pungkas Opik.
.RED