KUNINGAN, KASATU.ID - Gunung Ciremai, yang semestinya menjadi benteng konservasi alam tertinggi di Jawa Barat, hari ini sedang mengalami pelucutan besar-besaran. Bukan oleh bencana alam, melainkan oleh tangan-tangan manusia yang mengeruk hasil hutan tanpa izin, tanpa rasa malu, dan tanpa pernah disentuh hukum. Di balik pepohonan pinus yang berdiri rapuh, ada bisnis haram bernilai miliaran rupiah yang beroperasi dengan aman di bawah hidung negara.
Beberapa pernyataan di media dari berbagai aktivis dan pengamat mengatakan bahwa setiap bulan, tak kurang dari 32 ton getah pinus disedot dari kawasan taman nasional ini. Dengan harga pasaran Rp18.000/kg, nilainya mencapai Rp576 juta per bulan atau hampir Rp7 miliar dalam setahun. Nilai fantastis ini tidak masuk ke kas negara, tidak tercatat dalam dokumen pendapatan daerah, dan tidak dinikmati oleh rakyat. Ia mengalir ke jalur distribusi gelap yang dikuasai oleh pengepul besar yang tak tersentuh.
Ironisnya, yang menjadi korban justru masyarakat penyadap itu sendiri. Mereka bekerja dalam tekanan ekonomi, tanpa perlindungan, tanpa jaminan sosial, dan tanpa legalitas. Mereka hanya tenaga upahan dari sistem liar yang tumbuh di tengah kawasan konservasi. Tidak ada perhutanan sosial. Tidak ada koperasi rakyat. Tidak ada keadilan distribusi. Yang ada hanya ampas untuk rakyat, dan untung besar untuk segelintir elite lokal.
Padahal kawasan yang dieksploitasi ini adalah taman nasional. Bukan hutan produksi. Bukan hutan hak. Ini adalah kawasan konservasi yang dilindungi penuh berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990. Secara hukum, aktivitas produksi di kawasan ini hanya diperbolehkan melalui skema kemitraan konservasi yang sangat ketat. Namun di lapangan, hukum itu dilecehkan seperti brosur kadaluarsa.
Sadapan dilakukan secara brutal dan sembarangan. Lubang-lubang dibor dalam, terlalu rapat, dan tanpa teknik pelestarian. Banyak batang pinus mengalami luka parah, mengering, dan akhirnya mati. Pepohonan yang semestinya menjadi penyerap air dan penyejuk alam kini berubah menjadi tonggak mati yang mempercepat degradasi lingkungan. Ribuan hektar zona hutan kini kehilangan tajuk hijau penopang ekosistem.
Kerusakan ini bukan hanya pada pohon. Dampaknya langsung merembet pada tanah, air, dan kehidupan manusia. Dengan tajuk hutan yang rusak, kelembaban tanah menurun. Hujan tidak lagi diserap oleh akar, tetapi mengalir langsung sebagai limpasan. Akibatnya, risiko longsor meningkat. Dan lebih dari itu, fungsi hutan sebagai penyimpan air rusak total. Debit mata air di lereng Ciremai menurun drastis, sumur warga mulai mengering, irigasi petani terganggu, dan krisis air mulai membayang.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan ini menyebar dari barat (Gunung Sirah) hingga timur (Mandirancan). Ini bukan kegiatan kecil-kecilan. Ini operasi besar. Ini industri liar. Tapi mengapa aparat tidak bertindak? Mengapa tidak ada penyegelan? Tidak ada penyitaan? Tidak ada penyidikan terhadap pengepul besar? Jawabannya sederhana dan menyakitkan, karena negara memilih diam.
Apakah Polres Kuningan tahu? Kejaksaan Negeri tahu? Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) tahu? Jika tidak tahu, dimana keberadaan mereka selama ini? Jika tahu, kenapa mereka semua bungkam. Mereka semua duduk tenang, membiarkan kejahatan ini berlangsung di depan mata. Patut diduga bukan karena tak punya kewenangan, tetapi karena diduga tak punya keberanian. Bahkan Surat Edaran Gubernur Jawa Barat No. 26/PM.05.02/PEREK Tahun 2025, yang secara eksplisit menghentikan semua izin usaha dan non-usaha di kawasan hutan, pun mereka abaikan.
Yang menyedihkan, kelompok masyarakat hukum adat dan koperasi sah yang mengurus izin dengan prosedur justru tersingkir. Mereka tidak diberi akses, tidak dilibatkan, dan tidak dilindungi. Sementara pelaku ilegal justru dibiarkan merajalela. Ini bukan hanya bentuk ketimpangan. Ini penghinaan terhadap upaya legal masyarakat. Negara justru lebih memanjakan pelanggar daripada melindungi yang taat hukum.
Dan di balik semua ini, ada dugaan aroma tajam oligarki lokal. Pengepul besar yang menguasai distribusi, punya modal, punya kendaraan, dan diduga punya kedekatan dengan institusi. Mereka bukan pelaku lapangan biasa. Mereka adalah operator industri gelap yang bersembunyi di balik pembiaran sistemik. Mereka bergerak leluasa karena tahu bahwa negara sudah lumpuh di kawasan ini.
Sementara itu, DPR dan DPRD hanya menjadi penonton yang pasif. Komisi XII DPR RI tidak mengeluarkan pernyataan sikap. H. Rokhmat Ardiyan, yang berasal dari dapil ini, tidak terlihat mengambil langkah tegas mendorong KLHK atau Gakkum turun ke lapangan. Komisi IV DPRD Kabupaten Kuningan pun tidak pernah memanggil BTNGC atau aparat untuk dimintai penjelasan. Legislatif berubah menjadi bangku kosong yang kehilangan suara.
Ini adalah krisis ekologis, krisis politik, dan krisis moral yang tidak boleh dibiarkan. Jika Gunung Ciremai yang berstatus taman nasional saja tidak bisa dilindungi, lalu bagaimana dengan kawasan hutan lain yang statusnya lebih rendah? Jika negara tak berdaya di hadapan pengepul getah, lalu apa gunanya hukum, undang-undang, dan aparat?
Frontal menyebut ini sebagai kejahatan lingkungan luar biasa extraordinary environmental crime yang tidak cukup hanya ditangani dengan mekanisme biasa. Negara harus bertindak. Bukan nanti. Tapi sekarang. Tangkap pengepul. Segel jalur distribusi. Audit internal BTNGC. Periksa aparat yang membiarkan. Paksa DPR dan DPRD bersuara atau biarkan mereka digugat secara politik dan sosial.
Dan jika negara terus diam, maka rakyat akan bersuara. Lebih nyaring. Lebih lantang. Karena hutan bukan warisan untuk dirusak. Ia adalah titipan untuk dijaga. Untuk air. Untuk udara. Untuk hidup. Dan untuk generasi yang belum lahir.
Ditulis oleh: Uha Juhana
Ketua LSM Front Reformasi Total (FRONTAL)