Notification

×

Iklan

Iklan

Cerpen: Pohon yang Tak Tumbang, Tanduk yang Tak Tajam

Jumat, 06 Juni 2025 | Juni 06, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-06T13:37:26Z


Oleh: Mang Kaeling

Yang Datang Serba Hitam


Di lembah yang terpeluk Gunung Permai, di mana kabut menyulam antara batu dan akar, terbentang sebuah negeri yang bersinar bagaikan cermin pecah yang terhampar di bawah langit. Negeri Emas, panggilannya, di mana debu permata mengisi setiap celah jalan, dan suara derap kaki rakyat beradu dengan gemuruh sejarah yang tak pernah usai. Di negeri yang gemerlap ini, hidup makhluk kecil yakni para kurcaci, yang tubuh mereka sekecil tangan tapi pikirannya tajam setajam pahat.


Di antara mereka, ada Keling, kurcaci hitam legam yang rambutnya seolah malam memutuskan bermukim di kepalanya. Tubuhnya kecil, namun matanya menampung riuh sunyi dunia dengan ketajaman yang tak biasa. Ia bukan penggali emas, melainkan penambang kata dan makna, menulis dalam keheningan yang lebih pekat dari gelap malam.


Suatu pagi yang suram, mentari enggan mengusir dingin. Keling menyelinap ke sebuah bukit yang menghadap jantung Negeri Emas, di mana sebuah pertunjukan yang sudah basi dan melelahkan tengah dipentaskan oleh seekor Banteng Merah yang berdiri dengan tatapan penuh dendam, mengarahkan tanduknya ke akar sebuah pohon raksasa yang tak pernah hijau, tapi selalu berwarna kuning, dialah Pohon Beringin Berdaun Kuning.


Banteng itu bukan sekadar banteng, tapi simbol kekuatan yang gemetar oleh ambisi dan dendam lama. Tanduknya berkilat seperti pedang, siap menebas akar sejarah yang menyimpan segala kunci dan rahasia. Ia mengamuk, menanduk dengan keganasan petir yang mencabik-cabik langit, berteriak kepada pohon kuning itu, “Rebah kau! Rebah dan tunjukkan semua daki hitam yang kau sembunyikan di balik bayang-bayangmu!”


Namun Beringin, dengan daun-daunnya yang kuning seolah membawa lukisan kuno tentang kemegahan yang retak, tidak bergerak. Daunnya jatuh satu demi satu, melayang seperti lembaran janji yang pernah diikrarkan tapi tak pernah ditepati. Tiap helai daun kuning itu adalah cerita tersendiri, kisah kegagalan, pengkhianatan, dan bisikan lembut yang menjerat harapan.


Keling duduk di balik rumpun rumput, pena kecilnya menari di atas daun lontar, meninggalkan bekas hitam seperti bisikan sunyi di malam panjang. Ia menulis, tanpa perlu berteriak seperti Banteng, tanpa perlu menunggu daun Beringin hijau kembali, karena di dunia yang terlalu sibuk dengan kegaduhan, kata-kata yang sunyi kadang lebih mengguncang daripada teriakan.


“Beringin ini bukan sakit, bukan renta,” tulis Keling, “tapi memang lahir dari warna kuning yang tak pernah berubah, seperti janji-janji yang diulang tapi tak pernah diperbaharui. Daunnya kuning seperti keangkuhan yang memudar menjadi kelabu.”


Banteng melancarkan serangan, menanduk akar yang menjalar dalam tanah berdebu, akar yang menyembunyikan lebih banyak daripada yang dapat dilihat mata, “Aku akan membuka semuanya!” banteng itu menggertak, “semua bisu dan penuh debu akan aku bentangkan seperti kain putih di bawah matahari!”


Beringin hanya bergoyang perlahan, seolah berkata, “Kalau kau buka, maka seluruh tanah ini akan retak dan semua yang kau lihat akan menjadi serpihan tajam yang menyakitkan. Bukankah kita sudah terlalu sering berdansa di atas kaca pecah?”


Pertarungan mereka bukan sekadar tanduk dan akar. Ia adalah pertarungan antara yang tampak dan yang tersembunyi, antara yang berteriak dan yang bisu, antara yang gemerlap dan yang rapuh. Sebuah drama yang dimainkan di atas panggung Negeri Emas yang megah, tapi penuh retakan.


Keling melihat dengan mata yang tak berkedip, menulis dengan tangan yang tak pernah lelah. “Ketika Banteng dan Beringin saling membuka kulitnya sendiri, rakyat hanya menjadi bayangan yang hilang di antara debu dan warna kuning yang tak pernah menghilang.”


Dan rakyat kurcaci yang selama ini hanya menjadi penonton, mulai menangkap bisikan Keling. Kata-katanya seperti angin sejuk yang melintas lembah, membelai wajah yang letih dan hati yang penuh tanya. Tulisan kecil itu merebak dari daun ke daun, dari mulut ke mulut, menyusup ke setiap celah yang tadinya tertutup rapat oleh suara gaduh kekuasaan.


Negeri Emas mulai berubah. Daun-daun kuning Beringin terus berjatuhan, namun akar-akarnya masih menggenggam tanah dengan erat. Banteng mulai kehilangan tenaga, tanduknya patah di beberapa tempat, tapi amarahnya masih membara.


Keling tetap duduk di bukit kecilnya, tersenyum samar. Ia tahu, dalam riuh rendah dunia yang saling menelanjangi, suara sunyi yang tertulis adalah yang paling jujur. Karena dalam dunia yang terlalu sibuk dengan kata-kata besar dan janji-janji kosong, justru diam yang terukir abadi.


Malam turun perlahan seperti tirai tipis yang melambai, menyelimuti Negeri Emas dengan kabut temaram yang menggantung di udara. Di balik kelam itu, bayang-bayang pohon beringin berdaun kuning menjadi lebih pekat, seperti lukisan masa lalu yang diselimuti debu waktu. Daun-daunnya jatuh menari-nari, berputar dalam angin malam, melukiskan melodi sunyi tentang keangkuhan yang tak kunjung padam.


Banteng Merah yang terbaring lelah di pinggir jalan, masih memancarkan bara kemarahan. Tubuhnya yang besar penuh luka, tapi matanya tetap membara dengan dendam yang belum selesai. Ia adalah jiwa yang terbakar oleh ambisi dan kekecewaan, suara dari hati yang pecah belah dalam riuh yang tak berhenti.


Sementara itu, Keling, si kurcaci hitam legam, berjalan perlahan menyusuri lorong-lorong sepi Negeri Emas. Ia membawa buku catatan dan pena kecilnya, menggoreskan kata-kata yang tidak hanya mengungkapkan apa yang terlihat, tapi juga yang tersembunyi di balik tirai warna kuning dan tanduk patah. Kata-katanya mengalir seperti sungai kecil yang menyusup di antara batu-batu tajam.


“Beringin berdaun kuning bukan hanya pohon,” tulisnya, “ia adalah cermin retak yang memantulkan wajah kekuasaan yang penuh cela, sebuah tirai emas yang menutupi ruang-ruang gelap di dalam istana.”


Keling tahu, tak ada yang benar-benar menang dalam pertarungan ini. Banteng dan Beringin hanyalah dua wajah dari satu koin yang sama, dimana koin yang dilempar ke udara oleh mereka yang duduk jauh di atas, tertawa melihat gelagat di bawah. Mereka berdua membuka aib, tapi juga menutup pintu harapan yang bisa tumbuh dari tanah retak itu.


Di pasar malam yang mulai ramai, kata-kata Keling berbisik dari bibir ke bibir. Seorang penenun tua yang tangannya berurat mengisahkan, “Aku pernah melihat daun kuning itu jatuh di atas tumpukan emas palsu. Dan aku tahu, tidak semua yang berkilau adalah emas sejati.”


Anak-anak kecil yang bermain di sudut jalan menatap langit dengan mata penuh tanya, tak mengerti apa arti daun kuning atau tanduk patah, tapi merasakan getar yang aneh dari dunia dewasa mereka. Di sana, di antara mereka, benih-benih kebingungan dan kerinduan mulai tumbuh, seperti embun yang menyejukkan tanah kering.


Keling tersenyum samar, dan di balik senyum itu tersimpan rahasia kurcaci kecil yang telah belajar bahwa dalam keremangan, cahaya terkecil sekalipun mampu menuntun perjalanan panjang.


“Di Negeri Emas, kata-kata adalah pelita, dan tulisan adalah akar yang bisa menembus lapisan tanah paling keras.

Aku akan terus menulis, karena hanya dengan kata, mungkin esok akan ada daun hijau yang tumbuh di pohon yang dulu berdaun kuning.”


Senja berikutnya akan tiba, dan dengan setiap senja itu, cerita tentang Banteng dan Beringin terus berputar seperti roda yang tak pernah berhenti. Tapi di sela-sela putaran itu, Keling tetap berdiri, pena di tangan, menuliskan kisah yang tak ingin dibiarkan mati bersama daun-daun kuning yang gugur.

×
Berita Terbaru Update