KUNINGAN, KASATU.ID - Ada masa ketika birokrasi Kuningan menyala oleh harapan. Ketika keberagaman dirayakan dan kapasitas lebih penting daripada kesempurnaan fisik. Ada masa ketika seorang difabel tuna netra tak hanya diakui, tetapi dimuliakan. Sosok itu bernama Elon Carlan. Seorang doktor cumlaude yang membuktikan bahwa keterbatasan fisik berupa penglihatan mata buta tidak membatasi pengabdian. Tapi masa itu, tampaknya telah berganti.
Kini, kabar rotasi pejabat tinggi pratama (JPT) jilid II di era pemerintahan Bupati Dian Rachmat Yanuar kembali menyeruak ke permukaan. Di antara nama-nama yang beredar, Elon disebut akan dipindahkan dari posisi Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) dimasukkan kotak peti es ke posisi kursi Staf Ahli Bupati. Secara struktural, jabatan itu masih setingkat eselon II. Tapi semua yang paham dinamika birokrasi tahu bahwa Staf Ahli Bupati adalah jabatan buangan paling hening, tempat suara pemikiran kerap dikalahkan oleh formalitas.
Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, tak menutupi kekecewaannya. Ia menyebut langkah itu bukan saja sebagai kemunduran, tapi sebagai bentuk pelemahan terhadap spirit keadilan dan pengakuan prestasi yang dulu sempat ditegakkan.
“Dulu, seorang ASN difabel dimuliakan oleh keberanian politik Acep Purnama. Sekarang? Justru seperti dipindahkan ke ruang sepi. Dulu diberi kehormatan memimpin, sekarang dihinakan dengan sadis,” ujar Uha dengan nada getir, Sabtu (13/7/2025).
Elon, kata Uha, adalah satu dari sedikit figur yang tak lahir dari jalur koneksi. Ia tumbuh dari jalan sunyi akademik dan pengabdian. Berkarir mulai dari Kabid PAUD, pindah menjadi Kadis Disnakertrans, hingga sekarang dipercaya memimpin Disporapar. Ia membangun program, menggagas inovasi, dan terjun langsung ke masyarakat. Jabatan yang ia emban bukan penghargaan semu, tapi hasil kerja keras.
“Apa yang salah dari Elon? Apakah karena ia terlalu tenang, terlalu sopan, atau terlalu difabel untuk zaman ini?” sindir Uha.
“Padahal, justru dialah teladan birokrat sejati. Tak gaduh, tapi bekerja. Tak banyak bicara, tapi nyata yang jadi,” tambahnya.
Di era Bupati Acep Purnama, lanjut Uha, keputusan menempatkan Elon sebagai kepala dinas adalah bentuk keberanian moral. Sebuah pernyataan bahwa ASN dinilai bukan dari fisiknya, tapi dari pikirannya. Bahwa difabel bukan objek belas kasihan atau kasta sudra, tetapi subjek penggerak kebijakan. Dan itu bukan sekadar simbolik, Elon membuktikannya dengan program-program nyata, dari pelatihan tenaga kerja untuk penyandang kebutuhan khusus hingga promosi wisata berbasis komunitas.
Namun di era yang baru ini, sambungnya, keberanian itu seperti dikebiri.
“Sekarang semua dibungkus dengan alasan struktural. Bahwa posisi Staf Ahli Bupati juga masih dalam struktural eselon II dan ini biasa dalam mutasi. Tapi jangan tutupi pembohongan substansi dengan kemasan administratif,” kata Uha.
“Kita semua tahu, staf ahli itu posisi menunggu. Menunggu diminta pendapat, yang belum tentu didengar," sindirnya.
Lebih jauh, Uha mempertanyakan arah kepemimpinan saat ini. “Apakah pemerintahan ini masih punya nyali seperti dulu? Atau sedang takut pada cahaya orang-orang baik, sehingga memilih menempatkannya di tempat buangan?” katanya tajam.
“Kalau pemimpin takut memberi tempat pada yang pantas, itu pertanda kita sedang melangkah ke arah yang keliru,” tegas Uha.
Ia juga mengingatkan bahwa ini bukan semata tentang Elon. Ini tentang pesan. Bahwa ASN difabel yang berprestasi pun, pada akhirnya bisa digeser ke pinggiran.
“Ini pesan berbahaya. Karena ke depan, akan ada banyak Elon-Elon baru yang ragu untuk melangkah. Karena mereka tahu, sebaik apapun mereka bekerja, akhirnya mereka bisa dipindahkan hanya karena dianggap berbeda,” tutur Uha.
Menurutnya, mutasi boleh jadi sah secara hukum. Tapi tidak semua yang sah itu bijak. Tidak semua yang legal itu beradab. Kebijakan, kata Uha, harus dilandasi kesadaran sosial, bukan sekadar kalkulasi kekuasaan. Dan dalam hal ini, ia melihat keputusan terhadap Elon sebagai keputusan yang legal tapi kehilangan makna.
“Kami tidak menyalahkan Bupati. Tapi kami menyesalkan keberanian yang dulu sempat ada kini seperti tak diwariskan. Apa susahnya mempertahankan Elon pada jabatan yang memberi dampak? Atau justru itu yang dikhawatirkan, karena ia memberi dampak?” ujarnya lagi.
Kini, publik bisa menilai sendiri. Ketika seseorang yang membawa pesan kemajuan justru ditempatkan di posisi yang mematikan potensinya, apakah itu tanda kematangan birokrasi atau justru pengerdilan diam-diam?
Elon sendiri memilih bungkam. Seperti biasa, ia tidak banyak bicara. Tapi diamnya justru jadi penanda bahwa kadang, suara ketidakadilan tidak selalu terdengar melalui teriakan. Ia bisa hadir dalam bentuk yang lebih tajam dengan sikap tenang yang memantulkan kegaduhan di sekelilingnya.
Dan dalam keheningan itu, banyak pihak bertanya, apakah Kuningan sedang menuju inklusivitas yang sejati, atau kembali ke masa di mana hanya yang sempurna yang dipersilakan berdiri di depan?
.RED