KUNINGAN, KASATU.ID - Tragedi memilukan meninggalnya seorang bayi dalam kandungan di RSU Linggarjati Kabupaten Kuningan terus menuai gelombang kecaman dari berbagai kalangan. Salah satu kritik paling tajam disuarakan oleh Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, yang menilai bahwa persoalan ini bukan sekadar kelalaian teknis rumah sakit, tetapi kelalaian serius yang bisa diproses secara pidana. Lebih dari itu, ia juga menyayangkan sikap Bupati Kuningan yang dianggap hanya memberi sanksi simbolik tanpa menyentuh aktor utama kelalaian.
Uha mengungkap kronologi berdasarkan informasi yang ia peroleh dari pihak dalam rumah sakit. Menurutnya, saat kejadian, pasien dalam kondisi hamil tua dan membutuhkan tindakan sesar segera. Namun, dokter kandungan yang dijadwalkan tidak hadir meskipun sudah tiga kali dipanggil oleh dokter jaga. Akibat keterlambatan penanganan itu, janin dalam kandungan meninggal dunia sebelum sempat diselamatkan.
“Ini bukan lagi persoalan administratif. Ini sudah masuk kategori kelalaian berat. Dokter kandungan yang tidak datang ketika dibutuhkan harus bertanggung jawab secara hukum. Kalau kita mengacu kepada Pasal 359 KUHP, jelas disebutkan bahwa barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia, bisa dipidana hingga 5 tahun. Ini bukan kelalaian kecil, soal nyawa anak manusia” tegas Uha, Sabtu (19/7/2025).
Ia menyebut bahwa kasus ini mencerminkan buruknya kesiapsiagaan rumah sakit dalam menangani kondisi darurat, terlebih pada akhir pekan. Menurutnya, sistem jaga 24 jam yang seharusnya diterapkan justru tampak tidak berjalan, karena tenaga spesialis tidak dapat dihadirkan meski pasien dalam kondisi kritis. Padahal, dalam dunia medis, keterlambatan beberapa menit saja bisa menjadi garis batas antara hidup dan mati.
Yang lebih disesalkan Uha adalah sikap Pemerintah Daerah, khususnya Bupati Kuningan, yang justru hanya menjatuhkan sanksi non-job kepada Direktur RSU Linggarjati Edi Sarif, tanpa menggali lebih dalam peran dan tanggung jawab dokter yang tidak hadir saat dibutuhkan.
“Kalau hanya Direktur yang diberi sanksi, sementara dokter yang lalai dibiarkan, ini bentuk ketidakadilan yang nyata. Bupati seharusnya tidak lepas tangan. Ini nyawa rakyatnya yang hilang karena kelalaian sistem dan individu,” ujar Uha dengan nada geram.
Menurutnya, dalam sistem manajemen pelayanan publik, kepala daerah memiliki peran kunci dalam memastikan mutu layanan dan pengawasan kinerja aparatur, termasuk rumah sakit. Karena itu, ketika terjadi tragedi seperti ini, langkah yang diambil seharusnya menyeluruh, bukan hanya respons administratif untuk meredakan kemarahan masyarakat.
“Kita tidak butuh pencitraan. Yang kita butuhkan adalah keadilan bagi korban dan keluarga. Kalau pelaku utama tidak disanksi, bagaimana masyarakat bisa percaya pada rumah sakit? Bagaimana bisa percaya pada Bupati yang hanya lepas tangan karena kasus meledak viral?” tambahnya.
Uha juga mengingatkan bahwa peran dokter bukan hanya soal profesi, tetapi juga sumpah moral dan kemanusiaan. Dokter, terutama yang telah dijadwalkan dan mengetahui adanya pasien darurat, tidak bisa berlindung di balik alasan hari libur atau keengganan pribadi.
“Ini menyangkut kehidupan manusia. Dokter yang abai harus dimintai pertanggungjawaban. Kalau dibiarkan, akan jadi contoh buruk bagi seluruh tenaga kesehatan lainnya. Pelayanan publik bisa jadi sekadar formalitas tanpa akuntabilitas,” katanya.
Uha menegaskan bahwa pihaknya tidak akan berhenti menyuarakan desakan agar kasus ini diusut tuntas, bukan hanya di ranah etik dan administratif, tetapi juga aspek pidananya. Ia menyerukan agar aparat penegak hukum segera turun tangan mengusut unsur pidana dalam peristiwa ini.
“Saya minta Polres Kuningan yang sedang menangani kasus ini segera periksa dokter yang tidak hadir. Kami akan kawal terus. Ini bukan dendam, ini soal keadilan. Jangan sampai nyawa rakyat dianggap kelinci percobaan,” pungkasnya.
.RED