KUNINGAN, KASATU.ID - Diamnya para pejabat, baik Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar maupun lembaga DPRD ketika dihadapkan pada berbagai persoalan yang melanda masyarakat menimbulkan pertanyaan dan tanda tanya besar? Apa yang sebenarnya terjadi? Mereka seperti mempertontonkan lemahnya moral, etika, dan memperlihatkan kepalsuan dalam membela rakyat.
Dalam sistem pemerintahan yang ideal, pejabat publik seharusnya menjadi pelayan rakyat, penegak kebenaran, dan penjaga moral bangsa. Namun dalam praktiknya, kita menyaksikan banyak kasus di mana para pejabat Kuningan memilih diam di tengah kepalsuan yang merajalela.
Diam itu bukan sekadar sikap pasif tapi seringkali ia adalah bentuk pengkhianatan terhadap moral dan etika jabatan. Lantas, mengapa mereka bungkam? Apa yang terjadi dengan kompas moral para pemimpin yang seharusnya bertanggung jawab kepada rakyat?
Moral dan etika dua pilar yang seharusnya menjadi penuntun moral adalah nilai-nilai yang melekat dalam diri seseorang tentang apa yang benar dan salah. Sementara etika adalah panduan perilaku yang dibentuk oleh lingkungan sosial dan profesi. Dalam konteks pejabat publik, etika tercermin dalam sumpah jabatan, aturan hukum, dan norma pelayanan masyarakat.
Seorang pejabat yang memiliki moral baik akan secara pribadi merasa terdorong untuk menyampaikan kebenaran dan menolak kepalsuan. Sementara etika menuntut dia untuk bertindak sesuai prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.
Ketika seorang pejabat Kuningan bungkam terhadap suatu kepalsuan baik itu manipulasi data, masalah kemanusiaan, proyek fiktif, korupsi anggaran, atau penyimpangan kebijakan maka bisa dikatakan ia telah gagal menjalankan peran moral maupun etikanya.
Budaya bungkam adalah warisan feodal dan pola kekuasaan diamnya para pejabat bukanlah fenomena baru. Ini adalah bagian dari budaya kekuasaan yang sudah lama bercokol dalam sistem birokrasi kita.
Warisan feodalisme yang menekankan loyalitas pada atasan lebih dari loyalitas pada kebenaran telah menciptakan lingkungan di mana berkata jujur dianggap subversif. Dalam lingkungan seperti ini, kejujuran bisa dibayar mahal.
Pejabat yang bersuara lantang sering kali dianggap pembangkang, digeser, atau dibungkam secara sistemik. Maka, diam menjadi pilihan aman. Ia menjadi “etika pragmatis” dalam birokrasi kekuasaan atau sebuah bentuk kepatuhan palsu yang menutupi keberanian moral.
Ketakutan dan kepentingan adalah akar dari bungkamnya nurani. Alasan diam bisa dilacak dari dua akar utama: ketakutan dan kepentingan. Ketakutan bisa bersumber dari ancaman kehilangan jabatan, tekanan politik, bahkan intimidasi langsung.
Sementara kepentingan berkaitan dengan keuntungan yang mereka dapat dari menjaga status quo: posisi aman, akses kekuasaan, atau bagian dari “kue” yang dibagi diam-diam. Ketika kepentingan pribadi lebih diutamakan daripada kepentingan publik, maka moral akan dikorbankan. Etika hanya menjadi slogan di poster, bukan praktik hidup.
Diam yang seharusnya netral, menjadi bentuk pembiaran atas kebohongan yang dibiarkan tumbuh. Dampak sosial dari kepalsuan yang dibiarkan maka kepalsuan yang tidak diungkap akan membusuk menjadi kebijakan yang salah arah, program yang gagal, dan kepercayaan publik yang runtuh.
Diamnya para pejabat Kuningan menciptakan efek domino: masyarakat kehilangan teladan, budaya permisif terhadap korupsi tumbuh, dan generasi muda kehilangan harapan akan integritas. Moral publik rusak bukan hanya karena satu atau dua orang jahat, tapi karena banyak orang baik yang memilih diam.
Para pejabat Kuningan yang semestinya menjadi benteng terakhir kebenaran, justru membiarkan kepalsuan menggerogoti sistem dari dalam.
Diperlukan tanggung jawab moral lebih dari sekadar jabatan. Menjadi pejabat bukan sekadar menduduki kursi kekuasaan, tapi juga memikul tanggung jawab moral yang berat. Jabatan publik adalah amanah, bukan hadiah. Diam terhadap kesalahan berarti mengkhianati kepercayaan rakyat.
Dalam banyak kasus, seorang pejabat tidak perlu ikut berbuat salah untuk jadi bagian dari kesalahan tapi cukup dengan bersikap bungkam, ia sudah menjadi bagian dari sistem yang menindas kebenaran.
Sudah seharusnya ada etika perlawanan yaitu berani berbicara di tengah kepalsuan. Meski lingkungan birokrasi sering menekan, ada banyak contoh pejabat yang memilih bersuara. Mereka yang berani menjadi whistleblower, membongkar korupsi, menolak tanda tangan dokumen palsu, atau mengundurkan diri sebagai bentuk protes. Keberanian semacam ini adalah manifestasi tertinggi dari moral dan etika.
Etika bukan hanya soal mengikuti aturan, tetapi juga berani melawan ketika aturan itu dipakai untuk menindas kebenaran. Diam bisa jadi aman, tapi berbicara adalah tanda integritas. Dalam dunia yang sarat kepalsuan, kebenaran memang tampak sunyi, tapi tetap mempunyai suara dan tempat.
Adalah peran dari masyarakat dan media dalam menghadapi diamnya para pejabat Kuningan karena masyarakat dan media memiliki peran penting. Masyarakat harus kritis, berani menuntut transparansi dan tidak mudah puas dengan narasi resmi. Sementara media baik jurnalis independen maupun platform sosial harus menjadi ruang alternatif bagi suara-suara yang dibungkam.
Kebenaran harus terus diperjuangkan, meski menghadapi tembok diam dari mereka yang mempunyai kuasa. Sebab kalau tidak, kepalsuan akan terus menjadi norma, dan pejabat yang jujur akan semakin langka.
Diam Itu pilihan tapi bersuara itu adalah tanggung jawab. Dalam situasi apapun, diam adalah pilihan moral. Tapi bagi seorang pejabat publik di Kabupaten Kuningan, diam terhadap kepalsuan bukanlah pilihan yang etis. Ini adalah pengingkaran terhadap sumpah jabatan, terhadap rakyat, dan terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Jika pejabat publik ingin dihormati bukan karena jabatannya, tapi karena integritasnya, maka mereka harus berani bicara. Bahkan jika itu berarti kehilangan jabatan karena yang lebih penting dari kekuasaan adalah kehormatan.
Kita membutuhkan lebih banyak pejabat Kuningan yang memilih bersuara dan menolak kepalsuan meski berisiko. Sebab sejarah bangsa dibentuk bukan oleh mereka yang diam, tapi oleh mereka yang berani berdiri di sisi kebenaran.
Ditulis oleh: Uha Juhana
Ketua LSM Front Reformasi Total