KUNINGAN, KASATU.ID - Pemerintah Kabupaten Kuningan kembali menjadi pusat perhatian, bukan karena prestasi, melainkan karena polemik mutasi pejabat yang dianggap melanggar etik paling mendasar dalam dunia birokrasi dimana pasangan suami istri ditempatkan dalam satu instansi.
Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, dalam sebuah perbincangan bersama beberapa orang pemerhati kebijakan, Rabu (17/7/2025) menyebut bahwa mutasi pasutri satu atap ini bukan hanya memalukan, tapi juga layak dijadikan case study nasional atau kalau perlu, masuk Guinness Book of Records sebagai “mutasi paling romantis dengan pelanggaran etika terbuka”.
“Kalau ini dibiarkan, kita bisa saja menyaksikan babak baru yakni mutasi keluarga besar dalam satu dinas. Ayah jadi kepala dinas, istri jadi sekretaris, anak jadi bendahara, sepupu jadi kasubag umum,” sindir Uha.
Namun, di balik satire itu, Uha menilai ini bukan sekadar kelalaian administratif. Ia menyebut bahwa pelanggaran ini dilakukan dengan sadar, oleh pejabat yang sangat paham aturan main. Yang disoroti utamanya adalah Bupati Kuningan, Dian Rachmat Yanuar, yang menurutnya mustahil tidak memahami persoalan etika ini.
“Pak Bupati itu bukan orang baru. Bayangkan beliau Sekda selama 6 tahun, Ketua Baperjakat pula. Artinya, sudah sangat mumpuni dalam jabatannya dan paham mekanisme mutasi dan etika ASN. Jadi sangat tidak masuk akal kalau pura-pura tidak tahu. Ini bukan salah teknis, ini soal kemauan,” ungkap Uha.
Menurutnya, sangat berbahaya jika kesalahan semacam ini dianggap angin lalu. Karena pejabat di level kepala daerah mestinya menjadi panutan dalam penegakan disiplin dan etika, bukan justru yang mengabaikannya.
Tak kalah ironis, Uha juga menyoroti Beni Prihayatno, yang kini menjabat sebagai Penjabat Sekda, sekaligus Kepala BKPSDM, Ketua Korpri, dan Ketua Baperjakat. Semua posisi itu memiliki korelasi langsung dengan urusan kepegawaian.
“Ini luar biasa. Jabatan-jabatan yang mestinya jadi benteng terakhir etika ASN malah jadi sumber kebisuan birokrasi. Semua jalur kontrol kepegawaian justru berada di tangan satu orang, tapi tidak ada yang merasa bersalah. Kalau ini bukan kartel jabatan, lalu apa?” tanyanya retoris.
Uha mengaku menerima curhatan bahwa beberapa pejabat di lingkup Pemkab sendiri merasa malu dan tidak nyaman. Salah satu Kepala OPD bahkan menyatakan langsung ke Uha bahwa ia malu mengaku berasal dari Kuningan setelah kasus ini mencuat ke publik.
“Bayangkan, internal pun sudah muak, tapi elite-nya tetap nyantai. DPRD juga anteng, seperti sedang menyusun puisi etika versi baru. Tidak ada suara, tidak ada evaluasi. Mungkin mereka mengira ini sinetron birokrasi, bukan pemerintahan nyata,” sindir Uha.
Ia menilai diamnya lembaga legislatif dalam menyikapi pelanggaran ini menjadi sinyal kemunduran pengawasan. Padahal, menurutnya, fungsi kontrol DPRD seharusnya bisa menjadi rem ketika eksekutif melenceng dari norma.
“Ini bukan soal SK mutasi biasa. Ini menyangkut integritas pemerintahan. DPRD mestinya bukan hanya jadi penonton, apalagi kalau ikut ‘bermain’ di belakang layar,” katanya.
Uha menekankan bahwa reformasi birokrasi yang kerap didengungkan Pemkab Kuningan selama ini ternyata hanya sebatas jargon. Ia menyebutnya "reformasi powerpoint", bagus di presentasi, tapi nihil implementasi.
“Reformasi birokrasi itu bukan soal ganti nama program dan pasang baliho. Ini soal keberanian menegakkan etika. Kalau slogan Kuningan Melesat hanya jadi pengantar pidato, ya selamat datang di era birokrasi drama,” pungkasnya.
Ia juga memperingatkan bahwa pembiaran terhadap pelanggaran semacam ini akan merusak kepercayaan publik terhadap seluruh sistem pemerintahan termasuk Bupati sendiri.
“Kalau pemimpinnya tidak punya rasa malu, lalu untuk siapa aturan itu dibuat? ASN yang kecil-kecil ditegur karena telat apel, sementara yang melanggar besar-besaran diberi kursi. Ini namanya bukan pembinaan, tapi pembenaran,” tegas Uha.
Sebagai penutup, Uha menyerukan agar lembaga pengawas, termasuk Komisi ASN, Ombudsman, dan publik luas, segera mengambil sikap.
“Karena kalau tidak, besok-besok mungkin kita lihat mutasi ala ‘family gathering’ akan jadi budaya baru di Kuningan. Dan saat itu terjadi, jangan bilang tidak ada yang memperingatkan,” tutupnya.
.RED