KUNINGAN, KASATU.ID - Keputusan Bupati Kuningan DR. H. Dian Rachmat Yanuar yang diduga atas dasar masukan atau pertimbangan dari pihak BKPSDM dengan menonaktifkan Direktur RSUD Linggajati Eddy Syarief, yang diumumkan secara terbuka pasca-kematian janin Ny. Irmawati, dinilai Ketua LSM Barak, Nana Rusdiana, S.IP, diduga sebagai tindakan sembrono, prematur, dan sarat pelanggaran hukum.
Nana menyebut keputusan tersebut bukan hanya cacat prosedur, tetapi juga berpotensi menjadi skandal tata kelola pemerintahan daerah karena diduga melibatkan konflik kepentingan dan pengabaian terhadap norma hukum yang berlaku.
“Ini bukan sekadar kesalahan administratif, tapi menjadi contoh pelanggaran hukum terang-terangan yang dilakukan oleh pejabat publik,” tegas Nana.
Menurutnya, keputusan Bupati Kuningan diduga tidak hanya menabrak Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, tapi juga mengangkangi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, bahkan membuka peluang hukum untuk digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Konflik Kepentingan Dewan Pengawas
Sorotan tajam diarahkan kepada Penjabat Sekretaris Daerah atau Pj Sekda Beni Prihayatno, yang diketahui menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas RSUD Linggajati. Alih-alih menjalankan fungsi pengawasan secara profesional, Beni justru tampil mendampingi Bupati saat mengumumkan penonaktifan direktur.
“Ini tabrakan etika. Harusnya Pj Sekda sebagai Ketua Dewas memimpin evaluasi internal dulu, bukan malah ikut ‘mengadili’ dalam konferensi pers,” kritik Nana.
Padahal, dalam Pasal 32 ayat (2) UU No. 44/2009, disebutkan bahwa Dewan Pengawas dibentuk untuk memberi nasihat kepada direksi dan melakukan pengawasan nonteknis. Artinya, segala evaluasi terhadap direktur rumah sakit harus melalui rekomendasi Dewas, bukan diumumkan sepihak oleh Bupati.
“Keputusan itu bukan hasil Dewan Pengawas, bukan hasil Majelis Disiplin Profesi, bukan pula hasil pemeriksaan resmi. Ini keputusan pribadi Dian Rachmat Yanuar yang didandani seolah legal,” lanjutnya.
Diduga Langgar UU Kesehatan: Tak Punya Kewenangan Menghukum
Nana juga mengingatkan bahwa UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan secara eksplisit mengatur mekanisme penanganan dugaan pelanggaran profesi medis. Pasal 321 s.d. 326 menyatakan bahwa dugaan pelanggaran disiplin hanya bisa ditangani oleh Majelis Kehormatan Disiplin Tenaga Kesehatan. Artinya, kepala daerah tidak memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi administratif atau memutuskan penonaktifan pejabat rumah sakit atas dugaan kelalaian medis.
“Apakah Bupati sudah menerima hasil investigasi Majelis Kehormatan? Belum! Jadi atas dasar apa menonaktifkan jabatan seseorang? Ini melanggar asas legalitas dan due process of law,” tegas Nana.
Lebih jauh, ia menyebut tindakan tersebut membahayakan sistem pelayanan kesehatan karena memberi pesan bahwa pemimpin rumah sakit bisa diberhentikan kapan saja, bukan berdasarkan profesionalisme tetapi berdasarkan persepsi publik dan tekanan politis.
Berpotensi Digugat ke PTUN
Menurut Nana, keputusan tersebut layak untuk digugat kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ia merujuk pada UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009, bahwa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang merugikan hak seseorang dan bersifat final dapat digugat.
“Penonaktifan ini jelas bersifat KTUN. Ada keputusan tertulis, dikeluarkan pejabat negara, final, individual, dan berdampak langsung. Maka, direktur RSUD Linggajati punya hak penuh menggugat ke PTUN.
Nana juga menyebut bahwa tindakan Bupati telah melanggar prinsip-prinsip Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), seperti asas kecermatan, profesionalitas, dan perlindungan hak asasi.
Preseden Buruk dan Teror Psikologis ke Dunia Medis
Ia menyebut tindakan salah kaprah atas kebijakan dari Bupati Kuningan telah menciptakan preseden yang sangat berbahaya dimana seolah-olah rumah sakit adalah SKPD biasa yang direktur atau kepala dinasnya bisa dirotasi kapan saja. Padahal, rumah sakit adalah institusi ilmiah dengan struktur profesional yang tunduk pada kode etik dan regulasi medis, bukan sekadar struktur birokrasi.
“Bila dibiarkan, ini akan jadi momok baru bagi tenaga medis. Mereka akan bekerja dalam ketakutan, bukan dalam profesionalitas. Ini bentuk teror psikologis dari pemerintah daerah kepada dunia medis,” tegas Nana.
Ia juga mengingatkan bahwa tujuan reformasi birokrasi adalah memperkuat sistem berbasis hukum, bukan memperkuat dominasi kepala daerah sebagai satu-satunya pemegang kuasa atas nasib pejabat publik.
“Bupati bukan panglima tertinggi dalam hukum. Ada aturan, ada mekanisme, dan ada batas,” pungkasnya.
Desakan Evaluasi dan Rehabilitasi Nama Baik
Untuk itu, Nana secara tegas mendesak agar Bupati Kuningan meninjau ulang keputusannya, membuka ruang klarifikasi kepada pihak rumah sakit, dan menunggu hasil investigasi resmi dari Majelis Disiplin Profesi Kesehatan.
“Jika tidak ada hasil pemeriksaan profesi, maka direktur wajib dikembalikan pada jabatannya, dan namanya direhabilitasi secara terbuka,” ujar Nana.
Menurutnya, ini bukan soal siapa yang salah atau benar, tapi soal menjaga marwah hukum dan institusi pelayanan publik.
“Kami bukan membela individu, kami membela sistem yang benar. Kalau sistemnya dilanggar, maka semua orang bisa jadi korban berikutnya,” tutupnya.
.RED