KUNINGAN, KASATU.ID - Baru setengah tahun menjabat, Bupati Kuningan Dr. Dian Rachmat Yanuar, M.Si langsung disuguhi tiga "kado pembuka" dari RSUD Linggajati yang membuat masyarakat bertanya-tanya, ini rumah sakit atau kotak Pandora?
Tiga kasus besar yang mencuat sejak awal 2025 seolah mencerminkan kondisi pelayanan publik yang sedang batuk berat. Dimulai dari keluhan puluhan tenaga kesehatan soal insentif Covid-19 yang belum juga cair sejak 2021, disusul dengan raibnya alat medis bernilai ratusan juta rupiah, dan puncaknya adalah kematian seorang bayi setelah ibunya dibiarkan menunggu lebih dari 30 jam tanpa tindakan medis. Tiga kasus. Tiga luka. Satu rumah sakit.
Masalah pertama yang muncul adalah soal insentif tenaga kesehatan Covid-19. Para nakes yang berjibaku siang malam selama masa pandemi mengaku belum menerima hak mereka atas insentif penanganan Covid tahun 2021 hingga 2022. Sudah ditagih berkali-kali, namun jawaban manajemen RSUD tak berubah yakni “Masih proses, sudah diajukan ke BPKAD.” Entah proses apa yang memakan waktu bertahun-tahun, sementara pandemi sendiri sudah dilonggarkan statusnya sejak lama. Ironisnya, hak para pejuang medis ini justru terjebak dalam jalur birokrasi yang lebih rumit dari sistem rujukan pasien.
Ketua LSM Frontal Kuningan, Uha Juhana, menyebut bahwa ini bukan sekadar keterlambatan administratif, tapi bentuk pengabaian terhadap jasa nakes.
“Orang-orang ini berjibaku saat kita semua diam di rumah. Tapi hak mereka malah disimpan seperti arsip mati. Kalau sudah tak dihargai, apa gunanya jadi pahlawan?” sindirnya.
Tak lama berselang, kasus kedua muncul lebih sunyi, namun tak kalah mencengangkan. Sebuah probe alat USG dilaporkan hilang dari poli kandungan RSUD. Nilainya ditaksir mencapai lebih dari Rp100 juta. Pihak rumah sakit mengaku telah melapor ke kepolisian. Tapi ketika ditanya soal CCTV, jawabannya malah lebih dramatis dari sinetron yakni “CCTV-nya rusak, memorinya hilang.” Bagaimana mungkin alat vital bisa hilang begitu saja dari fasilitas negara, sementara sistem pengamanannya lenyap bersamaan? Ini bukan sekadar kelalaian, tapi bentuk nyata dari rusaknya sistem pengawasan aset.
Uha lagi-lagi bersuara keras. “Kalau alat semahal itu bisa hilang begitu saja, ini bukan rumah sakit, ini tempat magis. Apa nanti oksigen juga bisa hilang, tempat tidur pindah sendiri, atau pasien nyasar ke puskesmas?” katanya dengan nada sarkastik.
Dan sebagai gong penutup dari "hat-trick", muncullah kasus kematian bayi yang mengguncang jagat maya dan menarik perhatian tokoh nasional. Seorang ibu bernama Irmawati mengalami pecah ketuban pada 14 Juni 2025, namun harus menunggu lebih dari 33 jam sebelum tindakan operasi dilakukan. Ketika akhirnya operasi dilakukan, bayinya sudah tidak bernyawa. Keluarga menggandeng pengacara Hotman Paris, dan peristiwa ini pun mencuat ke media nasional. RSUD Linggajati buru-buru membentuk “tim investigasi gabungan”. Ya, seperti biasa dimana membentuk tim adalah langkah darurat paling cepat dalam sistem birokrasi lambat.
Publik meradang, media menggempur, dan simpati mengalir pada keluarga korban. Namun yang lebih terasa adalah getirnya kenyataan bahwa sebuah rumah sakit milik pemerintah bisa begitu lamban menghadapi situasi darurat yang menyangkut nyawa manusia.
“Kalau ini dibiarkan, RSUD bukan lagi rumah sakit. Ia sudah berubah menjadi rumah lambat,” sindir Uha dengan getir.
Bupati Kuningan yang baru, Dr. Dian Rachmat Yanuar, disebut telah memerintahkan evaluasi dan pembentukan tim investigasi khusus. Namun publik bertanya, apakah ini akan menjadi gebrakan awal yang serius, atau hanya manuver awal untuk meredam badai?
Uha menyimpulkan bahwa tiga kasus besar ini bukan sekadar kecelakaan administratif. Ini adalah simbol dari sistem yang sudah lama dibiarkan sakit tanpa pengobatan. Ia mendesak pemerintah untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap manajemen RSUD Linggajati, mulai dari keuangan, prosedur medis, hingga pengamanan aset negara.
“Pak Bupati, ini waktunya membuktikan kepemimpinan. Jangan biarkan hat-trick ini berkembang jadi quadrick. Karena setelah nyawa, alat, dan hak orang hilang, yang akan hilang berikutnya adalah kepercayaan,” tutupnya.
Publik kini menanti, apakah Bupati akan memberi resep penyembuh sistem atau sekadar plester retoris yang tak menutup luka. Karena bagi rakyat, rumah sakit bukan panggung birokrasi tapi tempat harapan terakhir bertahan.
.RED