KUNINGAN, KASATU.ID - Sebuah kabar menggembirakan datang dari Pemerintah Kabupaten Kuningan. Setelah bertahun-tahun tanpa bioskop, Pemkab melalui Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) akhirnya membuka peluang investasi untuk menghadirkan kembali bioskop di pusat kota. Rencana ini digagas sebagai bagian dari strategi optimalisasi aset daerah yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal.
Kerja sama dirancang dengan PT Platinum Cineplex, jaringan bioskop nasional yang memiliki pengalaman di berbagai daerah. Jika terealisasi, maka warga Kuningan tidak perlu lagi pergi ke kota tetangga seperti Cirebon atau Majalengka hanya untuk menonton film terbaru.
Kepala BPKAD Kuningan, Deden Kurniawan Sopandi M.Si, menyampaikan bahwa pengelolaan aset pemerintah daerah harus mampu memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Ia ingin agar rencana kehadiran bioskop ini tidak hanya berfungsi sebagai sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah), tetapi juga menjadi ruang publik yang hidup dan relevan dengan kebutuhan warga.
“Optimalisasi aset daerah bukan sekadar bicara angka, tapi bicara manfaat langsung ke masyarakat. Rencana bioskop ini bukan hanya membuka PAD, tapi membuka peluang, ruang ekspresi, dan kebanggaan,” ujar Deden, seperti dikutip dari akun sosial media resmi BPKAD Kuningan, Kamis (17/7/2025).
Langkah ini tidak hanya disambut baik dari sisi pemerintahan, tetapi juga membangkitkan kenangan lama di hati masyarakat. Warga Kuningan yang tumbuh pada era 80-an hingga awal 2000-an tentu masih mengingat keberadaan Bioskop Kuning Ayu dan Bioskop Plaza. Dua tempat tersebut pernah menjadi ikon hiburan Kuningan, tempat keluarga menonton bersama, remaja merayakan akhir pekan, dan pasangan muda menghabiskan waktu.
Atmosfer bioskop saat itu sangat khas. Tiket dibeli secara manual di loket kecil, penonton menyeruput teh botol dan makan kacang kulit sembari menunggu lampu dipadamkan. Gedung bioskop menjadi ruang sosial di mana cerita, candaan, dan emosi bertemu.
Namun seiring waktu, dua bioskop itu redup dan akhirnya tutup, menyisakan kekosongan yang cukup lama. Tidak sedikit warga yang hingga kini menyimpan memori kuat tentang film pertama yang mereka tonton, atau momen tak terlupakan yang terjadi di dalam ruang gelap berlayar lebar itu.
Kini, rencana menghadirkan kembali bioskop dianggap bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan kebangkitan memori kolektif warga Kuningan. Sebuah langkah yang menyentuh emosi dan memberi makna lebih dari sekadar bisnis.
Bioskop modern yang direncanakan nantinya juga diharapkan menjadi ruang kreatif baru bagi pelaku seni, komunitas film, dan pelajar. Deden menyebut bahwa pihaknya telah mengusulkan kepada investor agar bioskop ini tidak hanya menayangkan film komersial, tetapi juga memberi ruang bagi pemutaran film lokal dan program edukatif.
“Kita ingin bioskop ini menjadi milik masyarakat. Termasuk para seniman, sineas, pelajar, hingga komunitas budaya. Kita akan upayakan agar ada ruang khusus untuk film lokal dan kegiatan edukatif,” jelas Deden.
Respons positif juga datang dari kalangan aktivis dan pemerhati kebijakan publik. Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, menyambut rencana ini dengan penuh apresiasi. Ia melihat kebijakan membuka ruang investasi bioskop sebagai langkah nyata pemerintah yang berpihak kepada rakyat dan mampu membaca kebutuhan zaman.
“Saya salut pada Pak Deden. Beliau bukan hanya mengelola aset, tapi juga membangkitkan harapan rakyat. Ini langkah cerdas, membumi, dan penuh keberpihakan terhadap masyarakat bawah,” ujar Uha.
Lebih lanjut, Uha menyoroti sisi ekonomi yang akan terdorong seiring hadirnya bioskop di Kuningan. Menurutnya, bioskop bisa menciptakan ekosistem ekonomi mikro yang baru. Warung makan, pedagang kaki lima, pengemudi ojek daring, hingga pengusaha kuliner rumahan akan merasakan dampaknya.
“Bioskop ini bukan hanya soal layar dan kursi, tapi soal ruang hidup yang selama ini hampa. Bayangkan dampaknya bagi pedagang kecil, ojek online, pelapak kaki lima, hingga pengusaha kuliner. Ekonomi lokal akan ikut bergerak,” katanya.
Bioskop diperkirakan juga mampu menyerap tenaga kerja baru, mulai dari staf administrasi, teknisi, petugas kebersihan, hingga pengisi program-program komunitas. Ini menjadi nilai tambah penting di tengah upaya pemulihan ekonomi pascapandemi.
Uha juga menekankan bahwa bioskop tidak hanya membawa manfaat ekonomi, tetapi juga fungsi sosial dan budaya yang selama ini jarang dipenuhi oleh ruang-ruang publik lainnya. Di tengah perubahan gaya hidup digital, ruang fisik seperti bioskop menjadi sangat penting untuk merawat interaksi sosial yang autentik.
Menurutnya, bioskop bisa menjadi titik temu antar generasi. Orang tua bisa berbagi cerita masa lalu dengan anak-anaknya, komunitas bisa memutar karya film dokumenter sejarah lokal, hingga sekolah bisa memanfaatkannya untuk kegiatan literasi visual dan pendidikan karakter.
Tak kalah penting, bioskop juga membuka ruang bagi pelaku industri kreatif lokal, khususnya para sineas muda yang selama ini tak memiliki panggung. Mereka bisa lebih bersemangat menghasilkan karya karena tahu akan ada tempat resmi untuk menayangkannya di daerah sendiri.
“Kreativitas pemuda Kuningan sudah luar biasa, tapi selama ini seperti terabaikan. Dengan adanya bioskop, mereka punya panggung. Mereka akhirnya bisa menunjukkan karya, bukan hanya di dunia maya tapi di layar nyata,” tegas Uha.
Dengan segala potensi tersebut, kehadiran bioskop di Kuningan bukan hanya menjadi kabar baik bagi para pecinta film. Ia telah menjelma menjadi simbol harapan, kebangkitan, dan transformasi daerah menuju masa depan yang lebih terbuka, lebih hidup, dan lebih dekat dengan rakyatnya.
.RED