Notification

×

Iklan

Iklan

Evaluasi Realisasi TKDD Kabupaten Kuningan Per Juli 2025, Capaian dan Tantangan

Kamis, 17 Juli 2025 | Juli 17, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-17T00:42:32Z


KUNINGAN, KASATU.ID - Realisasi anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) Kabupaten Kuningan tahun anggaran 2025 memunculkan tanda tanya besar. Hingga pertengahan Juli 2025, dari total pagu Rp2,198 triliun, realisasi baru mencapai Rp1,199 triliun, atau sekitar 54,57 persen. Serapan yang baru menyentuh separuh anggaran di tengah tahun ini menunjukkan tidak sinkronnya antara perencanaan dan pelaksanaan belanja daerah.


Ketidakseimbangan ini semakin kentara saat ditelusuri lebih dalam ke masing-masing pos anggaran. Beberapa sektor krusial seperti pembangunan fisik dan pemberdayaan desa justru menunjukkan serapan paling rendah, sementara pos tunjangan dan belanja rutin tetap menjadi prioritas.


DAK Fisik Jalan di Tempat: Serapan Minim, Proyek Menguap


Sektor yang paling mencolok stagnannya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik. Dari pagu sebesar Rp44,16 miliar, hanya Rp2,41 miliar yang terserap atau 5,46 persen. Angka ini sangat rendah dan menimbulkan keraguan besar atas komitmen pembangunan infrastruktur di daerah.


DAK Fisik biasanya digunakan untuk pembangunan jalan desa, irigasi, sarana air bersih, dan fasilitas publik lainnya. Namun dengan realisasi di bawah 10 persen, mustahil membayangkan adanya progres fisik signifikan di lapangan. Jalan-jalan rusak di pelosok, proyek irigasi terbengkalai, dan pembangunan MCK layak mungkin masih sekadar rencana.


Kondisi ini menimbulkan spekulasi bahwa proses perencanaan awal tidak matang, atau justru ada hambatan serius dalam tahap pengadaan barang dan jasa. Di sisi lain, faktor teknis seperti lelang gagal, keterlambatan DPA, atau minimnya SDM perencana di OPD teknis bisa menjadi penyebab lambannya pencairan.


Fakta ini sangat kontras dengan pernyataan para pejabat yang sering menjanjikan percepatan pembangunan, pemulihan ekonomi lokal, dan pemerataan akses dasar masyarakat. Sayangnya, dengan DAK Fisik nyaris beku, pembangunan tampak hanya retorika.


Dana Bagi Hasil Rata 40%: Realisasi Berbasis Skema, Bukan Kinerja


Dana Bagi Hasil (DBH) yang seharusnya fleksibel dan berbasis kontribusi daerah, justru menunjukkan pola yang aneh. Dari total Rp66,06 miliar, semua komponen DBH baik itu cukai hasil tembakau, PBB, royalti, hingga sumber daya alam lainnya terserap pas di angka 40 persen. Tidak lebih, tidak kurang.


Pola serapan yang identik ini menimbulkan dugaan bahwa pencairan DBH tidak berbasis kinerja atau kebutuhan, melainkan sekadar tahapan transfer administrasi. Pemerintah daerah tidak memiliki kontrol atau strategi untuk mendorong optimalisasi penerimaan, karena semuanya mengalir sesuai slot waktu.


Sebagai contoh, DBH dari PPh Pasal 21 yang mencapai pagu Rp36,66 miliar, hanya disalurkan Rp14,66 miliar, dan demikian pula untuk sektor lainnya. Tidak ada variasi yang menunjukkan bahwa satu sektor lebih cepat atau lebih lambat dalam pelaksanaan.


Hal ini menghilangkan semangat insentif yang seharusnya melekat pada DBH. Jika realisasi dilakukan secara flat, maka semangat daerah untuk memperbaiki pengelolaan potensi lokal, termasuk kehutanan dan pertambangan, menjadi tumpul. Pemerintah pusat dan daerah seperti hanya menjalankan rutinitas fiskal tanpa semangat reformasi kinerja.


Dana Alokasi Umum: Dominasi Belanja Rutin, Pelayanan Publik Sekadar Tambahan


Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan komponen terbesar TKDD dengan alokasi Rp1,225 triliun, dan realisasi hingga Juli sebesar Rp713,19 miliar (58,19%). Sebagian besar dari DAU digunakan untuk belanja rutin seperti gaji ASN, tunjangan, serta operasional birokrasi.


Secara persentase, DAU tampak lebih baik dibanding pos lainnya, namun perlu dicermati bahwa mayoritas pengeluaran digunakan untuk sektor non-produktif. Contohnya, penggajian formasi PPPK dan pendanaan kelurahan terserap lebih cepat dibanding belanja bidang pendidikan atau kesehatan.


Ironisnya, sektor pendidikan hanya terserap Rp35,15 miliar dari Rp46,87 miliar, sementara sektor kesehatan baru Rp17,88 miliar dari Rp28,13 miliar. Padahal kedua sektor ini menyentuh langsung kehidupan masyarakat dan menjadi indikator utama Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kuningan.


Fenomena ini menunjukkan bahwa birokrasi masih menjadi orientasi utama dalam belanja daerah. Masyarakat belum sepenuhnya merasakan manfaat dari aliran dana besar ini, karena pelayanan dasar seringkali tidak mendapatkan prioritas yang layak.


Dana Desa Mandek Separuh: Pemberdayaan Terhambat, Program Tertunda


Dana Desa yang ditransfer langsung ke 361 desa di Kabupaten Kuningan juga belum menunjukkan progres yang menggembirakan. Dari Rp341,15 miliar, realisasi baru Rp185,96 miliar atau 54,51%. Ini berarti hampir separuh anggaran masih mengendap, sementara berbagai program padat karya dan sosial belum berjalan.


Kondisi ini sangat kontras dengan tujuan Dana Desa yang ingin mendorong percepatan ekonomi desa dan pengurangan kemiskinan ekstrem. Banyak desa melaporkan keterlambatan pencairan berdampak pada mundurnya jadwal pembangunan jalan desa, bantuan bibit, dan BLT Dana Desa.


Alasan administratif kerap dijadikan kambing hitam dari keterlambatan LPJ tahun sebelumnya, kendala input sistem OM-SPAN, hingga perbedaan data. Namun bila alasan-alasan ini terus terjadi tiap tahun, maka ini bukan sekadar kendala teknis, melainkan lemahnya kemauan politik dan pembinaan.


Program desa seharusnya menjadi ujung tombak pembangunan berkelanjutan. Jika separuh anggaran belum digunakan saat waktu terus berjalan, maka yang dirugikan adalah masyarakat desa itu sendiri.


Tunjangan Guru Dominan, Tapi Pendidikan Tak Berkembang


Sektor pendidikan menjadi sorotan karena hampir seluruh Dana Alokasi Khusus Nonfisik diserap oleh Tunjangan Profesi Guru ASN, yaitu sebesar Rp279,93 miliar, dengan realisasi Rp143,36 miliar (51,22%). Sementara bantuan langsung seperti BOS Sekolah dan BOP Pendidikan Anak Usia Dini hanya mendapat porsi kecil.


Misalnya, BOS Sekolah yang memiliki pagu Rp139,31 miliar baru terserap Rp71,73 miliar, sedangkan BOP PAUD hanya Rp21,57 miliar dengan realisasi Rp11 miliar. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa orientasi anggaran pendidikan masih cenderung kepada belanja personal (tunjangan) dibanding pengembangan fasilitas belajar dan anak didik.


Guru tentu berperan penting dalam pendidikan, namun pendidikan bukan hanya soal tunjangan. Sekolah-sekolah membutuhkan perbaikan sarana, siswa perlu beasiswa, dan pendidikan kesetaraan perlu didorong agar masyarakat putus sekolah tetap mendapat akses.


Penutup: Anggaran Bukan Sekadar Diserap, Tapi Harus Berdampak


Data yang tampak rapi di atas kertas tidak menjamin kualitas pelayanan dan pembangunan yang nyata. Realisasi TKDD yang baru mencapai 54% bukan hanya angka statistik, tapi cermin dari seberapa jauh negara hadir dalam kehidupan masyarakat.


Jika anggaran besar tidak mampu menggerakkan ekonomi, membuka lapangan kerja, memperbaiki sekolah, atau mempercepat layanan kesehatan maka kita harus berani bertanya, apakah uang itu benar-benar digunakan untuk rakyat, atau hanya numpang lewat di sistem?


Pemerintah Kabupaten Kuningan dituntut lebih terbuka, strategis, dan berpihak. Evaluasi menyeluruh terhadap OPD berkinerja rendah, reformasi pengadaan, dan percepatan belanja produktif menjadi keniscayaan jika tak ingin semester kedua 2025 menjadi pengulangan kegagalan.


.RED

×
Berita Terbaru Update