KUNINGAN, KASATU.ID - Fenomena kritik terhadap pemerintah yang disampaikan oleh para influencer melalui media sosial kian marak dalam beberapa tahun terakhir. Meski dijamin oleh konstitusi sebagai bagian dari kebebasan berpendapat, sejumlah pakar hukum memperingatkan bahwa kebebasan tersebut tetap memiliki batas, terutama jika bersinggungan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kritik Sah, tapi Tidak Bebas Tanpa Batas
Secara konstitusional, hak menyampaikan pendapat dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945, yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi melalui berbagai media. Namun, penggunaan media sosial sebagai ruang kritik publik tetap harus tunduk pada aturan hukum lain yang berlaku, salah satunya UU ITE.
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang telah direvisi melalui UU No. 19 Tahun 2016, mengatur sejumlah larangan yang rawan menjerat pengguna media sosial, termasuk influencer. Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan atau pencemaran nama baik, dan Pasal 28 ayat (2) tentang penyebaran kebencian berdasarkan SARA menjadi pasal yang paling sering digunakan dalam pelaporan kasus.
Pasal-pasal Rawan Disalahgunakan
Pakar hukum dari Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, menyebutkan bahwa pasal-pasal dalam UU ITE berpotensi menjadi alat kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi.
“Ketidaksesuaian antara implementasi UU ITE dan semangat demokrasi menunjukkan adanya penyalahgunaan hukum yang berujung pada overcriminalization,” ujar Agustinus dalam tulisannya di situs lk2fhui.law.ui.ac.id (2020).
Senada dengan itu, SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) juga mencatat bahwa pasal 27 ayat (3) sering dipakai untuk menjerat warganet yang mengkritik pejabat, tanpa adanya pelanggaran yang jelas terhadap hukum pidana umum.
“Pasal ini rawan digunakan untuk membungkam kritik terhadap institusi negara, bukan untuk melindungi korban sebenarnya,” ungkap SAFEnet dalam laporan tahunan mereka (2021).
Kominfo dan Akademisi Sepakat Literasi Digital Harus Diperkuat
Sementara itu, Kominfo menyampaikan bahwa pemerintah tidak melarang kritik terhadap kebijakan atau pejabat publik, namun mengingatkan pentingnya etika digital dan akurasi informasi.
“Kritik boleh, asal tidak berujung pada ujaran kebencian, hoaks, atau pencemaran nama baik. Masyarakat harus cerdas menggunakan media sosial,” kata juru bicara Kominfo, Ari Setiawan, dikutip dari situs resmi sarolangunkab.go.id (2023).
Guru Besar Komunikasi dari Universitas Airlangga, Prof. Henri Subiakto, juga mengingatkan bahwa influencer memiliki tanggung jawab sosial yang besar karena pengaruhnya.
“Influencer kadang tanpa sadar menyebarkan narasi provokatif atau menyesatkan. Itu bisa menimbulkan pelanggaran UU ITE,” jelasnya.
Revisi UU ITE Tak Menutup Risiko
Meski pemerintah telah merevisi UU ITE pada 2021 dengan menekankan delik aduan dan penghapusan penahanan untuk beberapa pasal, para ahli menilai perbaikan tersebut belum cukup.
Menurut Teguh Arifiyadi, Ketua Indonesia Cyber Law Community (ICLC), revisi UU ITE hanya menyelesaikan sebagian masalah.
“Perubahan UU ITE melonggarkan delik aduan, tapi masyarakat tetap harus hati-hati. Tidak semua kritik bisa dianggap sah jika melanggar privasi atau fakta,” ujarnya seperti dikutip hukumonline.com (2022).
Hati-hati dalam Berekspresi
Kritik terhadap pemerintah merupakan bagian dari demokrasi yang sehat, termasuk jika disampaikan oleh influencer di media sosial. Namun, kritik tersebut harus disampaikan secara etis, berdasarkan fakta, dan tidak menyerang pribadi atau memicu kebencian.
Influencer sebagai figur publik harus memahami batas-batas hukum agar tidak terjerat pidana, khususnya melalui pasal-pasal sensitif dalam UU ITE dan KUHP baru.
.RED