Notification

×

Iklan

Iklan

Sepak Terjang Bupati Dian: Manuver dan Permasalahan di Tahun Pertama Kepemimpinan

Minggu, 20 Juli 2025 | Juli 20, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-19T20:16:44Z


KUNINGAN, KASATU.ID - Kurang dari satu tahun sejak dilantik, Bupati Kuningan H. Dian Rachmat Yanuar telah menjalani masa kepemimpinan yang penuh dinamika. Harapan besar masyarakat untuk melihat perubahan nyata dan kemajuan signifikan bagi Kabupaten Kuningan belum sepenuhnya terjawab. Justru sebaliknya, sejumlah permasalahan muncul ke permukaan, mulai dari persoalan internal pemerintahan, konflik jabatan, hingga menurunnya kualitas pelayanan publik dan tata kelola keuangan.


Dalam situasi keuangan daerah yang masih mengalami defisit anggaran, peran kepala daerah dan seluruh jajaran pemerintahan menjadi sangat penting untuk keluar dari stagnasi pembangunan. Artikel ini akan membahas berbagai persoalan krusial yang mewarnai tahun pertama masa kepemimpinan Bupati Dian.


Permasalahan di Tahun Pertama Bupati Dian


1. Isu Rangkap Jabatan Wakil Bupati


Wakil Bupati Kuningan, Tuti Andriani, SH, M.Kn., menjadi sorotan karena diduga masih aktif sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) saat menjabat sebagai wakil kepala daerah. Jabatan sebagai PPAT merupakan profesi yang bersifat mandiri dan melekat pada ranah pelayanan publik, sehingga jika dirangkap oleh seorang pejabat politik aktif seperti Wakil Bupati, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.


Praktik ini menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat karena bisa menabrak prinsip etik dan aturan terkait larangan rangkap jabatan. 


2. Rotasi Kilat Dua Kali Mutasi Pejabat Eselon II di Tahun Pertama


Dalam masa kurang dari setahun, Bupati Dian Rachmat Yanuar telah melakukan dua gelombang mutasi besar terhadap pejabat eselon II, yang menimbulkan kritik karena dianggap terlalu dini dan berpotensi politis. Gelombang pertama dilakukan pada 13 Juni 2025, di mana 13 pejabat eselon II resmi dimutasi dalam sebuah prosesi pelantikan yang dilakukan di Joglo Objek Wisata Desa Cibuntu Pasawahan oleh Bupati dan Wakil Bupati Tuti Andriani. Kemudian, kurang dari sebulan berselang tepatnya pada 14 Juli 2025 gelombang kedua digelar saat apel pagi di halaman Setda Kawasan KIC, dengan 7 pejabat eselon II kembali dirotasi.


Meski Bupati Dian menyatakan bahwa mutasi ini untuk penyegaran birokrasi dan percepatan kinerja, pro dan kontra tetap muncul. Secara regulatif, ASN minimal harus menempati posisi selama 2 tahun sebelum dapat dimutasi. Pelaksanaan mutasi jilid satu dan dua dalam jangka waktu kurang dari 30 hari ini memicu pertanyaan.


3. Pemangkasan Anggaran Damkar hingga 50%


Salah satu keputusan paling kontroversial adalah pemotongan anggaran Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) hingga setengahnya. Akibatnya, kegiatan operasional seperti pengadaan BBM dan perawatan kendaraan pemadam terganggu. Padahal, Damkar adalah lembaga yang sangat vital dalam urusan keselamatan warga.


4. Mandeknya Kinerja BUMD


Sejauh ini, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Kuningan belum memberikan kontribusi signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Beberapa BUMD seperti PDAM dan BPR dinilai stagnan dan tidak berinovasi dalam mengelola potensi usaha daerah. Alih-alih menjadi penggerak ekonomi, BUMD justru menjadi beban dalam postur keuangan daerah.


5. Kenaikan Tarif Air oleh PDAM


PDAM sebagai salah satu BUMD menaikkan tarif air bagi pelanggan rumah tangga. Ironisnya, kebijakan ini diambil di tengah pelayanan air yang belum merata dan masih banyak dikeluhkan warga. Kenaikan tarif tanpa peningkatan layanan membuat masyarakat kecewa, dan menilai keputusan ini tidak berpihak pada kepentingan publik.


6. Polemik Pengelolaan Stadion Mashud Wisnusaputra


Pengelolaan Stadion Mashud Wisnusaputra oleh pihak ketiga (PT. PLK) memicu protes dari komunitas olahraga. Dugaan pungutan liar, pembatasan akses, hingga minimnya transparansi kerja sama menjadi perhatian serius. Pemerintah dinilai lepas tangan dalam pengawasan terhadap aset strategis milik daerah ini.


7. Kisruh Seleksi Sekda


Proses open bidding Sekretaris Daerah (Sekda) dianggap tidak transparan. Muncul dugaan bahwa hasil seleksi telah diatur sebelumnya dan hanya menjadi formalitas administratif. Kondisi ini menambah daftar panjang ketidakpercayaan terhadap mekanisme seleksi jabatan strategis di lingkungan Pemkab.


8. Turunnya Opini BPK atas Laporan Keuangan Pemda


Yang paling menyedihkan adalah penurunan opini BPK dari Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Hal ini menunjukkan kemunduran dalam pengelolaan keuangan daerah. Penurunan opini BPK bukan sekadar catatan teknis, tetapi indikator kegagalan sistemik dalam transparansi dan akuntabilitas anggaran publik.


9. BTT Kuningan 2025 Membengkak


Pada semester pertama tahun 2025, Pemkab Kuningan telah merealisasikan Belanja Tidak Terduga (BTT) sebesar Rp9,22 miliar atau 76,86% dari total pagu Rp12 miliar, meskipun tidak terdapat peristiwa luar biasa yang layak dikategorikan sebagai keadaan darurat sesuai PP No. 12 Tahun 2019. Hal ini menimbulkan pertanyaan publik terkait transparansi dan akuntabilitas, terutama mengingat realisasi belanja modal justru sangat rendah—hanya 6,14% dari pagu Rp 247,49 miliar. Ditambah lagi, PAD baru tercapai 16,14% dan Pajak Daerah 0%, menjadikan penggunaan BTT secara besar-besaran tanpa kejelasan pemanfaatan sebagai hal yang mencurigakan. Masyarakat dan pengamat menilai, tanpa penjelasan detail dan dasar hukum yang kuat, BTT bisa berubah fungsi menjadi “keranjang ajaib” untuk membiayai kebutuhan birokrasi yang tak terencana, sehingga mendesak pengawasan lebih serius dari DPRD dan BPK.



10. Kasus RSUD Dugaan Kelalaian Medis


Kasus meninggalnya pasien di RSUD 45 Kuningan akibat dugaan kelalaian dokter atau perawat menjadi puncak krisis pelayanan publik. Kejadian ini tidak hanya menyentuh sisi kemanusiaan, tetapi juga menunjukkan masalah serius dalam tata kelola sistem kesehatan daerah. Hingga kini, belum ada langkah konkret yang diumumkan oleh pemerintah untuk menindaklanjuti kasus ini secara terbuka.


11. Dinamika Kamus Pokir di Bawah Kepemimpinan Bupati Dian


Kebijakan Kamus Pokir yang disepakati antara DPRD dan Bupati Dian menuai kritik karena dinilai membatasi ruang aspirasi anggota dewan. Meski disebut sebagai hasil konsensus bersama, beberapa pihak menilai sistem ini mengurangi fleksibilitas wakil rakyat. Wakil Ketua DPRD menegaskan Kamus Pokir sah secara aturan, meski diakui 20% usulan belum masuk akibat keterbatasan anggaran. Bupati Dian sendiri menanggapi hal ini dengan menekankan komitmen pemerintah untuk terus bergerak menyelesaikan program secara bertahap meski dalam kondisi fiskal yang terbatas.


Harapannya, kepemimpinan ini tidak berhenti pada pencitraan atau gebrakan awal saja, tapi benar-benar mampu membawa Kabupaten Kuningan ke arah yang lebih baik: transparan, kuat secara keuangan, dan humanis dalam pelayanan publik.


Ditulis oleh: Andika Ramadhan, Mahasiswa Kuningan


×
Berita Terbaru Update